Selasa, 28 Juli 2009

pernikahan adat sunda


Pernikahan Adat Sunda

Pernikahan Adat Sunda
Kekayaan budaya Tatar Sunda tampil lewat upacara pernikahan adatnya yang unik dan kaya makna. Prosesi pernikahan diwarnai humor yang menyegarkan dan mengakrabkan, tapi tak menghilangkan nuansa sakral dan khidmat. Berikut rangkaian tata cara pernikahan adat Sunda sebagai panduan bila Anda ingin menikah secara adat ini.

Seminggu atau tiga hari menjelang peresmian pernikahan, di rumah kedua calon mempelai berlangsung sejumlah persiapan yang mengawali prosesi pernikahan, yaitu Ngebakan atau Siraman. Berupa acara memandikan calon pengantin wanita agar bersih lahir dan batin. Acara berlangsung siang hari di kediaman masing-masing calon mempelai. Bagi umat muslim, acara terlebih dulu diawali dengan pengajian dan pembacaan doa khusus. Tahapan acara siraman adalah:

  • Ngecagkeun Aisan. Calon pengantin wanita keluar dari kamar dan secara simbolis digendong oleh sang ibu, sementara ayah calon pengantin wanita berjalan di depan sambil membawa lilin menuju tempat sungkeman.
  • Ngaras. Permohonan izin calon mempelai wanita kemudian sungkem dan mencuci kaki kedua orangtua. Perlengkapan yang dibutuhkan hanya tikar dan handuk.
  • Pencampuran air siraman. Kedua orangtua menuangkan air siraman ke dalam bokor dan mengaduknya untuk upacara siraman.
  • Siraman. Diawali musik kecapi suling, calon pengantin wanita dibimbing oleh perias menuju tempat siraman dengan menginjak 7 helai kain. Siraman calon pengantin wanita dimulai oleh ibu, kemudian ayah, disusul oleh para sesepuh. Jumlah penyiram ganjil; 7, 9 dan paling banyak 11 orang. Secara terpisah, upacara yang sama dilakukan di rumah calon mempelai pria. Perlengkapan yang diperlukan adalah air bunga setaman (7 macam bunga wangi), dua helai kain sarung, satu helai selendang batik, satu helai handuk, pedupaan, baju kebaya, payung besar, dan lilin.
  • Potong rambut. Calon mempelai wanita dipotong rambutnya oleh kedua orangtua sebagai lambing memperindah diri lahir dan batin. Dilanjutkan prosesi ngeningan (dikerik dan dirias), yakni menghilangkan semua bulu-bulu halus pada wajah, kuduk, membentuk amis cau/sinom, membuat godeg, dan kembang turi. Perlengkapan yang dibutuhkan: pisau cukur, sisir, gunting rambut, pinset, air bunga setaman, lilin atau pelita, padupaan, dan kain mori/putih.
  • Rebutan Parawanten. Sambil menunggu calon mempelai dirias, para tamu undangan menikmati acara rebutan hahampangan dan beubeutian. Juga dilakukan acara pembagian air siraman.
  • Suapan terakhir. Pemotongan tumpeng oleh kedua orangtua calon mempelai wanita, dilanjutkan dengan menyuapi sang anak untuk terakhir kali masing-masing sebanyak tiga kali.
  • Tanam rambut. Kedua orangtua menanam potongan rambut calon mempelai wanita di tempat yang telah ditentukan.

Ngeyeuk Seureuh. Kedua calon mempelai meminta restu pada orangtua masing-masing dengan disaksikan sanak keluarga. Lewat prosesi ini pula orangtua memberikan nasihat lewat lambang benda-benda yang ada dalam prosesi. Lazimnya, dilaksanakan bersamaan dengan prosesi seserahan dan dipimpin oleh Nini Pangeuyeuk (juru rias). Tata cara Ngeuyeuk Sereuh:

  • Nini Pangeuyeuk memberikan 7 helai benang kanteh sepanjang 2 jengkal kepada kedua calon mempelai. Sambil duduk menghadap dan memegang ujung-ujung benang, kedua mempelai meminta izin untuk menikah kepada orangtua mereka.
  • Pangeuyeuk membawakan Kidung berisi permohonan dan doa kepada Tuhan sambil nyawer (menaburkan beras sedikit-sedikit) kepada calon mempelai, simbol harapan hidup sejahtera bagi sang mempelai.
  • Calon mempelai dikeprak (dipukul pelan-pelan) dengan sapu lidi, diiringi nasihat untuk saling memupuk kasih sayang.
  • Kain putih penutup pangeuyeukan dibuka, melambangkan rumah tangga yang bersih dan tak ternoda. Menggotong dua perangkat pakaian di atas kain pelekat; melambangkan kerjasama pasangan calon suami istri dalam mengelola rumah tangga.
  • Calon pengantin pria membelah mayang jambe dan buah pinang. Mayang jambe melambangkan hati dan perasaan wanita yang halus, buah pinang melambangkan suami istri saling mengasihi dan dapat menyesuaikan diri. Selanjutnya calon pengantin pria menumbuk alu ke dalam lumping yang dipegang oleh calon pengantin wanita.
  • Membuat lungkun, yakni berupa dua lembar sirih bertangkai berhadapan digulung menjadi satu memanjang, lalu diikat benang. Kedua orangtua dan tamu melakukan hal yang sama, melambangkan jika ada rezeki berlebih harus dibagikan.
  • Diaba-abai oleh pangeuyeuk, kedua calon pengantin dan tamu berebut uang yang berada di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rezeki dan disayang keluarga.
  • Kedua calon pengantin dan sesepuh membuang bekas ngeyeuk seureuh ke perempatan jalan, simbolisasi membuang yang buruk dan mengharap kebahagiaan dalam menempuh hidup baru.
Akad Nikah
Pada hari pernikahan, calon pengantin pria beserta para pengiring menuju kediaman calon pengantin wanita, disambut acara Mapag Penganten yang dipimpin oleh penari yang disebut Mang Lengser. Calon mempelai pria disambut oleh ibu calon mempelai wanita dengan mengalungkan rangkaian bunga. Selanjutnya upacara nikah sesuai agama dan dilanjutkan dengan sungkeman dan sawer.

Sawer
Yaitu upacara memberi nasihat kepada kedua pengantin. Kedua orangtua menyawer pasangan pengantin diiringi Kidung. Untuk menyawer digunakan bokor yang diisi uang logam, beras, irisan kunyit tipis, permen, dan tek-tek. Kedua pengantin duduk di kursi sambil dipayungi. Seiring alunan Kidung, isi bokor ditaburkan. Hadirin yang menyaksikan berebut uang dan permen hingga mengundang gelak tawa.

pernikahan adat badui


Pernikahan Adat Baduy

Pernikahan di Baduy merupakan sebuah proses serius di kalangan warga Baduy. Setelah menikah, keluarga baru ini harus sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Oleh karena itu, sebelum pernikahan ada serangkaian proses adat yang harus dijalankan calon mempelai laki-laki. Ada tiga proses lamaran yang diajukan keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.

Lamaran pertama diajukan untuk mengungkapkan keinginan meminang anak perempuan. Setelah delapan bulan, lamaran kedua diajukan.

Lamaran kedua merupakan bukti kesungguhan keluarga laki-laki menikah dengan anak perempuan keluarga itu.

Selang lima bulan, lamaran ketiga diajukan, dan jika disetujui pernikahan dapat segera dilangsungkan.

Ketiga lamaran ini harus dilalui oleh setiap warga Baduy, terutama di Baduy Dalam. Untuk Baduy Luar, banyaknya lamaran bisa kurang dari tiga kali. Selama masa lamaran ini, pinangan laki-laki masih mungkin ditolak.
Selama masa lamaran, warga Baduy menjalani bobogohan atau yang kita kenal sekarang sebagai pacaran. Bobogohan merupakan saat perkenalan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah atau dinikahkan. Laki-laki mengunjungi perempuan, calon istrinya. Tetapi, kedatangan laki-laki ini tidak boleh sendiri. Ia harus datang bersama teman- teman laki-laki. Di Baduy seorang laki-laki dan perempuan yang belum menikah tidak boleh terlihat berduaan. Selain itu, laki-laki harus membantu calon mertuanya bekerja di ladang. Orangtua perempuan akan menilai kerja calon menantunya, apakah layak untuk mendampingi putrinya kelak. Di Baduy keluarga baru harus menghidupi diri masing-masing dengan bekerja di ladang.
Akan tetapi, tidak semua calon pengantin menjalani bobogohan. Anak-anak yang dijodohkan sering diberitahu dan dipertemukan pada hari upacara pernikahan berlangsun. Selain itu, warga Baduy memang tidak boleh menolak perjodohan yang dibuat orangtua.
Sebelum lamaran pertama diajukan, puun harus mengetahui dan menyetujui rencana pernikahan ini. Puun juga ikut menentukan hari yang baik untuk menikah. Dalam setahun, setiap puun hanya bisa menikahkan sampai enam pasang. Jika permintaan pernikahan lebih dari enam pada tahun itu, pasangan yang terakhir harus menunggu tahun berikutnya.
Untuk menikah, mempelai laki-laki harus membawa perkakas dapur, seperti dandang, sepan (panci pengukus), atau tempat nasi yang disebut baris, dan uang yang jumlahnya tidak ditentukan. Peralatan dapur ini harus baru dan bisa diperoleh dari hasil keringat sendiri atau mengambil kepunyaan keluarga. Nantinya, alat-alat ini diserahkan kepada orangtua mempelai perempuan. Keluarga baru harus membeli sendiri perkakas mereka.
Pernikahan dilakukan secara sederhana. Baju yang dikenakan oleh mempelai tidak berbeda dari baju khas suku Baduy, hanya saja baju ini baru dan warnanya putih. Tidak ada resepsi di gedung-gedung. Yang ada hanya makan bersama di rumah setelah puun menikahkan pasangan itu. Seusai acara makan bersama, usai pula rangkaian upacara pernikahan. Pasangan baru ditinggalkan sendiri tanpa ada bekal apa pun sebagai laki-laki dan perempuan yang baru menikah.
SUKU Baduy selama ini dikenal sebagai suku yang memegang teguh adat untuk melindungi diri dari pengaruh luar yang begitu kencang menerpa. Pernikahan suku Baduy adalah bentuk yang tak luput dari ketetapan menjalankan adat. Salah satu langkah yang ditempuh untuk menjaga adat ini dengan menjaga "kemurnian" warga Baduy, yaitu dengan menolak pernikahan di luar suku Baduy. Kebanyakan dari mereka menikah antarsepupu. Pernikahan boleh dilakukan antara warga Baduy dari kampung yang berbeda, termasuk antara Baduy Dalam dan Baduy Luar. Pasangan ini bisa memutuskan di mana mereka tinggal kemudian, tentu saja dengan persetujuan puun. Perjodohan masih menjadi kebiasaan suku Baduy untuk mendapatkan pasangan bagi anak mereka. Beberapa keluarga, akhir-akhir ini mulai membebaskan anak mereka untuk memilih pasangan hidup masing-masing. Penentuan jodoh bagi anak hanya melibatkan ayah saja. Ibu (atau ambu dalam bahasa Sunda) jarang diikutsertakan. Anak pun jarang diajak berbicara tentang perjodohan ini.
Warga Baduy yang masih muda belum boleh menikah. Sekitar tahun 80-an, umumnya perempuan Baduy menikah pada umur 15 tahun. Saat ini kebanyakan perempuan dilamar pada usia 18 sampai 20 tahun. Sementara untuk laki-laki, usia pernikahan di atas 20 tahun. Bahkan ada pula warga yang menikah pada usia 25 sampai 30 tahun. Bagi warga Baduy Dalam, pernikahan adalah sekali untuk seumur hidup. Mereka tidak mengenal perceraian. Perceraian hanya terjadi jika salah satu meninggal. Janda/duda yang ditinggalkan boleh menikah lagi. Proses yang harus ditempuh sebelum pernikahan adalah upaya untuk mendapatkan pendamping yang tepat demi kelanggengan pernikahan. Adapun Baduy Luar mengizinkan adanya perceraian tanpa kematian. Yang juga menarik, adat Baduy melarang poligami atau poliandri.

Senin, 27 Juli 2009

pernikahan adat betawi


Pernikahan Adat Betawi

Upacara pernikahan dalam adat Betawi merupakan salah satu kebudayaan yang menarik. Seluruh prosesi dalam adat Betawi berupa tahapan-tahapan yang berkaitan satu sama lain. Mulai dari proses lamaran hingga akad nikah.

Tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah: melamar, masa pertunangan, menentukan hari perkawinan, mengantar peralatan, menyerahkan uang sembah, seserahan, nikah, ngarak penganten, main nganten-ngantenan, main marah-marahan, menyerahkan uang penegor dan pesta penutup. Namun, saat ini upacara adat perkawinan Betawi jarang dilaksanakan secara lengkap. Pada umumnya hanya beberapa tahapan saja yang dilaksanakan. Tahapan yang jarang dilaksakan pada saat ini adalah main nganten-ngantenan, main marah-marahan, dan menyerahkan uang penegor.

Melamar

Sebelum melamar calon isteri, seorang pemuda Betawi biasanya sudah melewati suatu proses yang dikenal dengan istilah ngedelengin; yaitu upaya mencari atau menemukan kesamaan misi dan visi antara seorang lelaki dengan seorang perempuan dalam rangka membina rumah tangga.

Melamar atau ngelamar dalam istilah Betawi adalah tingkatan yang paling awal dari rangkaian upacara. Setalah seorang pemuda menetukan calon istrinya, pihak keluarga pemuda mendatangi keluarga si gadis. Ada pun yang dikirim sebagai utusan biasanya keluarga dekat sebanyak dua sampai tiga orang. Jarang sekali orang tua pemuda melamar sendiri.

Bawaan yang dibawa pada waktu melamar adalah pisang sebanyak dua tiga sisir, roti tawar empat buah, dan dua tiga macam buah. Semua bawaan ditempatkan di piring besar atau nampan. Bawaan biasanya tampak terbuka yang merupakan tanda melamar supaya orang dapat mengetahui bahwa saat itu ada upara melamar pengantin.

Masa Pertunangan

Setelah lamaran diterima pihak si gadis, pertunangan menjadi tahap berikutnya. Tahapan ini ditandai dengan diadakannya acara mengantar kue-kue dan buah-buahan dari pihak pemuda ke rumah pihak si gadis.

Dalam masa pertunangan bukan berarti si gadis dan si pemuda bebas bertemu. Di antara mereka masih terdapat batas-batas hubungan yang berdasarkan pada ajaran agama dan sopan santun. Mereka tidak boleh bepergian tanpa ada yang ikut menyertai dari pihak keluarga di gadis.

Menentukan Hari Pernikahan

Untuk menentukan hari perkawinan dicari hari dan bulan yang baik serta saat-saat dimana segenap keluarga ada dalam keadaan selamat, sehat wal afiat. Pihak laki-laki mengirim utusan ke rumah keluarga si gadis dengan membawa buah tangan berupa buah-buahan dan kue kue sekedarnya.

Dalam pembicaraan, selain menentukan hari pernikahan juga diutarakan apa yang diminta keluarga si gadis sebagai persyaratan. Seperti jumlah mas kawin, peralatan yang dibawa, dan jumlah uang belanja.

Mengantar Peralatan

Peralatan yang telah ditentukan pada pembicaraan terdahulu. Peralatan biasanya berbentuk alat-alat rumah tangga secara lengkap, perhiasan emas, pakaian, mas kawin dan uang belanja.

Jika si gadis mempunyai kakak yang belum kawin, maka pihak pemuda wajib menyerahkan uang pelangkah sebagai tanda permintaan maaf karena si adik mendahuluinya. Uang pelangkah juga dimaksudkan agar si kakak enteng jodoh.

Menyerahkan “Uang Sembah”

Peralatan yang diperlukan termasuk mas kawin telah diserahkan kepada pihak si gadis. Kira-kira tiga hari sebelum hari perkawinan, si pemuda diantar oleh salah seorang keluarganya pergi ke rumah calon mertua. Tujuan kepergian si pemuda untuk menyerahkan uang kepada si gadis yang disebut uang sembah. Jumlah uang sembah tidak ditentukan tergantung pada kemampuan pemuda itu. Uang sembah itu dibawa dengan menggunakan sirih dare, yaitu berupa anyaman dari daun sirih yang berbentuk kerucut.

Ada pun maksud penyerahan uang sembah ini adalah sebagai pembuka hubungan antara si pemuda dengan gadisnya. Di samping itu, pada han perkawinannya nanti si gadis akan melakukan penyembahan kepada calon suaminya, sehingga hatinya perlu ditenteramkan dengan uang sembah tersebut.

Seserahan

Sehari sebelum upacara perkáwinan dilangsungkan, diadakan suatu acara yang disebut seserahan. Seserahan adalah suatu upacara mengantar bahan-bahan yang diperlukan untuk keperluan pesta pada keesokan harinya dari pihak si pemuda. Antaran tersebut berupa beras, ayam, kambing, daging, sayur-mayur, bumbu-bumbu dapur, dan sebagainya. Selain kambing dan ayam, semua barang antaran ditempatkan di dalam peti-peti kayu yang disebut shi. Kambing dituntun dan ayam ditempatkan dalam keranjang. Peti-peti tadi dipikul beramai-ramai dan diarak, sehingga orang mengetahui berapa jumlah shie untuk seserahan tersebut. Upacara seserahan merupakan kewajiban bagi pihak keluarga pengantin laki-laki untuk membantu keperluan pesta yang akan berlangsung di rumah calon isteri.

Sementara itu, calon pengantin wanita mulai dipingit di rumah dan dirias oleh tukang rias penganten, serta dihibur oleh orang-orang tua khususnya kaum ibu. Selain menghibur calon pengantin wanita, kaum ibu juga memberi berbagai nasihat sebagai bekal bagi kelangsungan hidup calon penganten tersebut.

Ngarak Penganten dan Akad Nikah

Pada hari pernikahan, si pemuda diantar oleh beberapa orang keluarganya berangkat menjemput si gadis di rumahnya. Bila melangsungkan pernikahan di KUA, mereka bersama-sama akan ke penghulu melakukan akad nikah. Si gadis yang diantar oleh ayah ibunya, lalu keluar dan rumahnya. Selanjutnya, kedua pengantin dinaikkan ke dalam sebuah delman dengan masing-masing seorang pengiring. Delman tersebut ditutupi dengan kain pelekat hitam sehingga tidak kelihatan dan luar. Akan tetapi, dengan kain pelekat hitam itu orang-orang telah nengetahui bahwa ada pengantin yang akan pergi ke penghulu. Setelah sampai di depan rumah, dilakukan pembacaan zikir sebagai pembuka pintu. Selanjutnya mempelai wanita melakukan sungkem kepada mempelai pria dan keduanya kemudian duduk di pelaminan.

Apabila akad nikah dilakukan di rumah, calon mempelai pria datang bersama rombongannya diiringi dengan rebana dan ketimpring. Rombongan membawa sejumlah seserahan mulai dari roti buaya yang melambangkan kesetiaan abadi, sayur-mayur, uang, jajanan khas Betawi, dan pakaian. Petasan segera dibunyikan sebagai tanda datangnya serta penyambutan rombongan calon pengantin pria di kediaman calon pengantin perempuan. Kemudian prosesi akad nikah dilakukan. Pengantin pria mengucapkan ijab qabul yang dipandu oleh penghulu. Setelah acara sungkeman, pengantin pria memberikan seserahan dan sirih dare yang di dalamnya berisi uang, gambir, pala, kapur, serta pinang dan membuka cadar pengantin wanita. Barang-barang tersebut melambangkan pahit, getir, dan manisnya kehidupan berumah tangga. Dengan kata lain, suami istri harus bisa menerima suka dan duka dari sebuah perkawinan. Terakhir yaitu pembacaan doa berisi wejangan untuk kedua mempelai dan keluarga kedua belah pihak yang tengah berbahagia.

Tradisi “Palang Pintu” dan Resepsi Meriah

Palang pintu merupakan acara upacara adat Betawi yang sangat menghibur. Palang Pintu merupakan kegiatan yang bertujuan saling mengenal antar keluarga dan maksud tujuan kedatangan. Kemudian sebagai syarat diterimanya calon mempelai pria, harus melewati dahulu palang pintu yang dijaga oleh jawara Betawi dari pihak calin mempelai wanita.

Acara ini dilaksanakan sebelum akad nikah dimulai, tepatnya ketika rombongan calon pengantin pria baru sampai di depan kediaman calon pengantin wanita. Rombongan calon pengantin pria akan dihadang oleh keluarga calon pengantin wanita. Para jagoan calon pengantin pria harus melawan jagoan dari pihak calon mempelai wanita.

Para penjaga pintu mempelai wanita kemudian membuka percakapan dengan sejumlah pantun. Selanjutnya, perwakilan mempelai pria membalas pantun tersebut. Dialog pantun dikumandangkan dengan sangat meriah dan mengundang tawa hadirin. Isi pantun biasanya tanya jawab seputar maksud dan tujuan pihak pria.

Setelah itu, seorang wakil pengantin perempuan menantang adu silat salah satu orang dari pihak lelaki. Prosesi tersebut menyimbolkan upaya keras mempelai laki-laki untuk menikah dengan sang pujaan hati. Uniknya, setiap petarungan silat, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan calon pengantin pria.

Selain adu pantun dan adu silat, calon pengantin pria juga ditantang kebolehannya membaca Al Quran. Dan setelah semua ujian telah dilewati dengan memenangkan ujian-ujian tersebut, akhirnya palang pintu dapat dibuka dan dimasuki oleh calon mempelai pria.

Setelah akad nikah dilakukan, resepsi pernikahan berlangsung dengan tradisi meriah. Pernak-pernik wajib khas Betawi yaitu ondel-ondel serta dekorasi warna-warni. Musik akan diiringi oleh suara tanjidor dan marawis (rombongan pemain rebana dan nyayian menggunakan bahasa arab). Selain itu, dimainkan pula keroncong dan gambang kromong khas Betawi.

Pengantin pria maupun pengantin wanita mengenakan pakaian kebesaran pengantin dan dihias. Dari gaya pakaian pengantin Betawi, ada dua budaya asing yang melekat dalam prosesi pernikahan. Pengantin pria dipengaruhi budaya Arab. Sedangkan busana pengantin wanita dipengaruhi adat Tionghoa.

Minggu, 26 Juli 2009

pernikahaan adat palembang


Penikaham Adat Palembang

Adat perkawinan Palembang adalah suatu pranata yang dilaksanakan berdasarkan budaya dan aturan Palembang. Melihat adat perkawinan Palembang, jelas terlihat bahwa busana dan ritual adatnya mewariskan keagungan serta kejayaan raja-raja dinasti Sriwijaya yang mengalaimi keemasan berpengaruh di Semananjung Melayu berabad silam. Pada zaman kesultanan Palembang berdiri sekitar abad 16 lama berselang setelah runtuhnya dinasti Sriwijaya, dan pasca Kesultanan pada dasarnya perkawinan ditentukan oleh keluarga besar dengan pertimbangan bobot, bibit dan bebet. Pada masa sekarang ini perkawinan banyak ditentukan oleh kedua pasang calon mempelai pengantin itu sendiri. Untuk memperkaya pemahaman dan persiapan pernikahan, berikut ini uraian tata cara dan pranata yang berkaitan dengan perkawinan Palembang. Di mana akan di uraikan Sebelum pernikahan, saat pernikahan dan setelah pernikahan.

Sebelum pernikahan

Milih Calon
Calon dapat diajukan oleh si anak yang akan dikawinkan, dapat juga diajukan oleh orang tuannya. Bila dicalonkan oleh orang tua, maka mereka akan menginventariskan dulu siapa-siapa yang akan dicalonkan, anak siapa dan keturunan dari keluarga siapa.

Madik
Bagian pertama rangkaian prosesi pernikahan adat Palembang adalah Madik. Berasal dari kata bahasa Jawa Kawi yang berarti mendekat atau pendekatan. Madik adalah suatu proses penyelidikan atas seorang gadis yang dilakukan oleh utusan pihak keluarga pria.Tujuannya untuk perkenalan, mengetahui asal usul serta silsilah keluarga masing-masing serta melihat apakah gadis tersebut belum ada yang meminang.
Pada zaman dahulu madik di lakukan pihak pria apabila ada kesukaan yang di lihat oleh seorang pria atas wanita di mana telah terjadi pertemuan sebelumnya seperti pria yang melihat dan tertarik pada seorang wanita pada acara cawisan atau fatayat, karena ketertatikan inilah maka pihak pria akan mengirimkan utusannya. Yang kebanyakan utusan tersebut adalah perempuan yang bisa melihat langsung wanita yang sedang di padik baik dari fisik maupun keterampilan (seperti mengaji Al Quran, Masak, Menjahit dan keterampilan lainnya) tetapi terkadang ada pula utusan adalah seorang pria.
Pertama-tama keluarga calon mempelai laki-laki mengadakan observasi atau pengamatan terhadap calon mempelai wanita dan keluarganya. Begitu juga sebaliknya, keluarga calon mempelai wanita mengadakan pengamatan juga terhadap calon mempelai laki-laki dan keluarganya.
Dalam pengamatan ini untuk mengetahui asal-usul, silsilah, dan gelarnya masing-masing. Gelar suku Palembang ada empat (4) tingkatan, antara lain:
Laki-laki Perempuan

Raden - Raden Ayu
Masagus - Masayu
Kemas - Nyimas
Kiagus - Nyayu

Tetapi pada saat sekarang madik sudah jarang di lakukan dan sudah jarang terdengan tetapi mungkin di sebagian masyarakan asli Palembang masih di lakukan dan madik ini juga di lakukan juga oleh dari keturunan Arab mereka lakukan pada saat adanya acara Gambusan ataupun sambrahan/bedana.
Untuk masyarakat Palembang sendiri saat ini madik sepertinya tidak di pakai lagi karena seiring perkembangan zaman tetapi yang masih seirng terjadi adalah “Rasan Tuo” di mana dari dua keluarga pihak pria dan wanita menjodohkan anak mereka masing-masing denagn tujuan untuk mempererat tali keutuhan keluarga.

Menyengguk
Menyengguk atau sengguk berasal dari bahasa Jawa kuno yang artinya memasang “pagar” agar gadis yang dituju tidak diganggu oleh sengguk (sebangsa musang, sebagai kiasan tidak diganggu perjaka lain). Menyengguk dilakukan apabila proses Madik berhasil dengan baik, untuk menunjukkan keseriusan, keluarga besar pria mengirimkan utusan resmi kepada keluarga si gadis.Utusan tersebut membawa tenong atau sangkek terbuat dari anyaman bambu berbentuk bulat atau segi empat berbungkus kain batik bersulam emas berisi makanan, dapat juga berupa telor, terigu, mentega, dan sebagainya sesuai keadaan keluarga si gadis.

Ngebet
Bila proses sengguk telah mencapai sasaran, maka kembali keluarga dari pihak pria berkunjung dengan membawa tenong sebanyak 3 buah, masing-masing berisi terigu, gula pasir dan telur itik. Pertemuan ini sebagai tanda bahwa kedua belah pihak keluarga telah “nemuke kato” serta sepakat bahwa gadis telah ‘diikat’ oleh pihak pria. sebagai tanda ikatan, utusan pria memberikan bingkisan pada pihak wanita berupa kain, bahan busana, ataupun benda berharga berupa sebentuk cincin, kalung, atau gelang tangan.
Untuk adat menyengguk dan ngebet sudah sangat jarang di lakukan pada karenakan pergerseran dan kemajuan zaman, untuk negbet pada saat sekarang sama seperti “tunangan”.

Berasan
Berasal dari bahasa Melayu artinya bermusyawarah, yaitu bermusyawarah untuk menyatukan dua keluarga menjadi satu keluarga besar. Pertemuan antara dua pihak keluarga ini dimaksudkan untuk menentukan apa yang diminta oleh pihak si gadis dan apa yang akan diberikan oleh pihak pria. Pada kesempatan itu, si gadis berkesempatan diperkenalkan kepada pihak keluarga pria. Biasanya suasana berasan ini penuh dengan pantun dan basa basi. Setelah jamuan makan, kedua belah pihak keluarga telah bersepakat tentang segala persyaratan perkawinan baik tata cara adat maupun tata cara agama Islam. Pada kesempatan itu pula ditetapkankapan hari berlangsungnya acara “mutuske kato”. Dalam tradisi adat Palembang dikenal beberapa persyaratan dan tata cara pelaksanaan perkawinan yang harus disepakati oleh kedua belah pihak keluarga, baik secara syariat agama Islam, maupun menurut adat istiadat. Menurut syariat agama Islam, kedua belah pihak sepakat tentang jumlah mahar atau mas kawin, Sementara menurut adat istiadat, kedua pihak akan menyepakati adat apa yang akan dilaksanakan, apakah adat Berangkat Tigo Turun,
adat Berangkat duo Penyeneng,
adat Berangkat Adat Mudo,
adat Tebas, ataukah
adat Buntel Kadut (Pihak pria memberikan uang baik untuk gegawan, acara sampai selesai) ,
dimana masing-masing memiliki perlengkapan dan persyaratan tersendiri.
Setelah mengetahui hal-hal yang paling kecil sekalipun, maka keluarga calon mempelai laki-laki mengutus beberapa orang untuk melamar pada pihak keluarga calon mempelai wanita. Utusan ini dipimpin oleh seorang yang pandai berbicara, baik masalah adat maupun masalah-masalah yang lainnya.
Rombongan utusan ini membawa sangkek-sangkek yang berisi bahan-bahan mentah, seperti: Gula, gandum, telur, dan lain-lain. Jumlah sangkek-sangkek ini selalu ganjil, yaitu: tiga, lima, tujuh, dan seterusnya. Jumlah sangkek-sangkek ini juga menunjukkan tingkat kemampuan sosial ekonomi dari keluarga pihak mempelai laki-laki.

Mutuske Kato
Acara ini bertujuan kedua pihak keluarga membuat keputusan dalam hal yang berkaitan dengan:”hari ngantarke belanjo” hari pernikahan, saat Munggah, Nyemputi dan Nganter Penganten, Ngalie Turon (Munggah 2 kali di tempat laki-laki & perempuan), Becacap atau Mandi Simburan dan Beratib. Untuk menentukan hari pernikahandan acara Munggah, lazim dipilih bulan-bulan Islam yang dipercaya memberi barokah bagi kedua mempelai kelak yakni bulan Robiul Awal, Robiul Akhir, Jumadilawal, Jumadilakhir. Bulan-bulan tersebut konon dipercayah bahwa bulan purnama sedang cantik-cantiknya menyinari bumi sehingga cahayanya akan menjadi penerang kehidupan bagi kedua mempelai secerah purnama. Saat ‘mutuske kato’ rombongan keluarga pria mendatangi kediaman pihak wanita dimana pada saat itu pihak pria membawa 7 tenong (Sangkek susun 3) yang antara lain berisi gula pasir, terigu, telur itik, pisang dan buah-buahan. Selain membuat keputusan tersebut, pihak pria juga memberikan (menyerahkan) persyaratan adat yang telah disepakati saat acara berasan. sebagai contohnya, bila sepakat persyaratan adat Duo Penyeneng, maka pihak pria pada saat mutoske kato menyerahkan pada pihak gadis dua lembar kemben tretes mider, dua lembar baju kurung angkinan dan dua lembar sewet songket cukitan. Berakhirnya acara mutuske kato ditutup dengan doa keselamatan dan permohonan pada Allah SWT agar pelaksanaan perkawinan berjalan lancar. Disusul acara sujud calon pengantin wanita pada calon mertua, dimana calon mertua memberikan emas pada calon mempelai wanita sebagai tanda kasihnya. Menjelang pulang 7 tenong pihak pria ditukar oleh pihak wanita dengan isian jajanan khas Palembang untuk dibawa pulang.

Nganterke Belanjo
Prosesi nganterke belanjo biasanya dilakukan sebulan atau setengah bulan bahkan beberapa hari sebelum acara Munggah. Prosesi ini lebih banyak dilakuakn oleh kaum wanita, sedangkan kaum pria hanya mengiringi saja. Uang belanja (duit belanjo) dimasukan dalam ponjen warna kuning dengan atribut pengiringnya berbentuk manggis. Hantaran dari pihak calon mempelai pria ini juga dilengkapi dengan nampan-nampan (disebut juga “Dulang” yaitu tempat nasi pada saat sedekahaan yang terbuat dari kayu) paling sedikit 12 buah berisi aneka keperluan pesta, antara lain berupa terigu, gula, buah-buahan kaleng, hingga kue-kue dan jajanan. Lebih dari itu diantar pula’enjukan’ atau permintaan yang telah ditetapkan saat mutuske kato, yakni berupa salah satu syarat adat pelaksanaan perkawinan sesuai kesepakatan. Bentuk “gegawaan” yang juga disebut masyarakat Palembang ‘adat ngelamar’ dari pihak pria (sesuai dengan kesepakatan) kepada pihak wanita berupa sebuah ponjen warna kuning berisi duit belanjo yang dilentakan dalam nampan, sebuah ponjen warna kuning berukuran lebih kecil berisi uang pengiring duit belanjo, 14 ponjen warna kuning kecil diisi koin-koin logam sebagai pengiring duit belanjo, selembar selendang songket, baju kurung songket, sebuah ponjen warna kuning berisi uang’timbang pengantin’ 12 nampan berisi aneka macam barang keperluan pesta, serta kembang setandan yang ditutup kain sulam berenda.
Total gegawan yang di bawa pada saat naganterke belanjo adalah sebanyak 24 nampan/dulang terdiri dari 12 nampan berisi kebutuhan makan dan 12 nampan untuk kebutuhan dan perlengkapan pengantin, dan dulu biasanya yang melakukan nganterke belanjo bisanya untusan dari keluarga mempelai laki-laki dan orang tua dari calon mempelai laki-laki itu sendiri tidak mengikuti acara tersebut ini bertujan mempercayakan sesuatu yang di bawa atau di antar ke calon mempelai perempuan akan sampai (pemupukan rasa percaya).
Salah satu adat yang ada dan sempat di lihat adalah pada saat penerimaan pihak calon mempelai perempuan mempersiapkan tadok “berunang” (bakul besar seperti bakul cina) untuk tempat penerimaan dimana barang-barang yang di terima di masukan seluruhnya kesana dan setelah selesai langsung di ikat dan di bawa masuk.
Untuk tempat uang sekarang sudah jarang dilihat yang menggunakan ponjen tetapi digantikan dengan manggis (Manggis di buat dari kertas manggis di bentuk kotak persegi tetapi memiliki sudut yang berbeda di keempat sisinya) sekarang biasanya manggis besar disi untuk uang belanja dan di iringi dengan manggis kecil yang berisi uang logam yang jumlahnya terkadang 12 s/d 14 buah.

Persiapan Menjelang Akad Nikah

Ada beberapa ritual yang biasanya dilakukan terhadap calon pengantin wanita yang biasanya dipercaya berkhasiat untuk kesehatan kecantikan, yaitu betangas. Betangas adalah mandi uap, kemudian Bebedak setelah betangas, dan bepacar.
Dulunya kegiatan ini di lakukan seseorang yang bertindak sebagi pelayang pengantin yang bertindak sebagai “Temu Jero” di mana seluruh kegiatan di atas di lakukan oleh beliau selama beberapa hari tersebut sampai dengan acara terakhir yaitu ratiban.

Betangas.
Merupakan mandi uap dengan ramuan rempah-rempah dimana kita duduk diatas kursi atau tempat yang telah di sediakan dan di bawah tempat duduk tersebut di berikan uap dari rebusan rempah-rempah, para calon pengantin menggunakan kain untuk menutupi seluruh badan kecuali muka, bahkan sebagian calon pengantin menutup secara keseluruhan.
Betangas ini bertujuan untuk mengeluarkan keringat dan membersihkan pori-pori biar pada saat hari H diharapkan tidak banyak mengeluarkan keringat dan bau.

Bebedak
Bebedak istilah untuk mendandai calon penganten secantik mungkin dari tatanan rambut, muka badan kaki tangan dan keseluruhannya.

Bepacar
Berpacar (berinai) yang diberikan pada seluruh kuku kaki dan tangan dan juga telapak tangan dan kaki yang disebut pelipit. Pacar ini juga menandakan bahwa mereka akan memasuki kehidupan baru sebagai pasangan rumah tangga.
Ada satu lagi kegiatan yang di fungsikan untuk mengetahui dan menelusuri silsiah dan ini biasanya dilakukan beberapa hari sebelum akad nikah yaitu ziarah.

PERNIKAHAN

Upacara Akad Nikah
Menyatukan sepasang kekasi menjadi suami istri untuk memasuki kehidupan berumahtangga. Upacara ini dilakukan dirumah calon pengantin pria, seandainya dilakukan dirumah calon pengantin wanita, maka dikatakan ‘kawin numpang’. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan masa, kini upacara akad nikah berlangsung dikediaman mempelai wanita. Sesuai tradisi bila akad nikah sebelum acara Muggah, maka utusan pihak wanita terlebih dahulu ngantarke keris ke kediaman pihak pria.

Pada zaman dahulu juga pada saat akad nikah ada timbangan dan kitab suci dimana Al Quran yang berarti rumah tangga untuk menjalankan syariat agama dan berlaku adil, dan karena berucap di depan Al Quran dan timbangan pada zaman dahulu jarang sekali terjadi perceraian karena takut kualat karena telah berucap.
Bila akad nikah ini dilakukan jauh hari sebelum acara munggah dan akad nikah tersebut di lakukan di tempat pengantin perempuan maka pengantin pria akan pulang ke rumahnya, dan kembali saat pagi seelum acara munggah.

Ngocek Bawang
Ngocek Bawang diistilahkan untuk melakukan persiapan awal dalam menghadapi hari munggah. Pemasangan tapup, persiapan bumbu-bumbu masak dan lain sebagainya disiapkan pada hari ini. Ngocek bawang kecik ini dilakukan dua hari sebelum acara munggah.
Selanjutnya pada esok harinya sehari sebelum munggah, dilakukan acara ngocek bawang besak. Seluruh persiapan berat dan perapian segala persiapan yang belum selesai dikerjakan pada waktu ini. Daging, ayam dan lain sebagainya disiapkan saat munggah, mengundang (ngulemi) ke rumah besannya, dan si pihak yang di ulemi pada masa ngocek bawang wajib datang, biasannya pada masa ini diutus dua oarang yaitu wanita dan pria.

Munggah
Prosesi ini merupakan puncak rangkaian acara perkawinan adat Palembang. Selain melibatkan banyak pihak keluarga kedua mempelai, juga dihadiri para tamu undangan. Munggah bermakna agar kedua pengantin menjalani hidup berumah tangga selalu seimbang atau timbang rasa, serasi dan damai. Pelaksanaan Munggah dilakukan dirumah kediaman keluarga pengantin wanita. Sebelum prosesi Munggah dimulai terlebih dahulu dibentuk formasi dari rombongan pria yang akan menuju kerumah kediaman keluarga pengantin wanita. Sebelum prosesi Munggah dimulai terlebih dahulu dibentuk formasi yang akan berangkat menuju rumah pengatin wanita. Formasi itu adalah :

Kumpulan (grup) Rudat
Pada saat pengantin lelaki di antar kembali ke tempat pengantin prempuan sebelum acara munggah dan diarak pakai rebana. Mempelai laki-laki diantar oleh keluarganya dengan membawa barang-barang, dari bahan makanan sampai pakaian, yang diletakkan di dalam nampan atau hidangan, namanya “gawaan”.
Mempelai laki-laki didampingi seorang pendamping, yang membawa bunga langsir. Ini melambangkan penyerahkan dari pihak laki-laki untuk diterimakannya menjadi keluarga pada pihak wanita. Arak-arakan ini dinamakan “munggah”.

Kuntau (Pencak Silat)/Betanggem & Pembawa Bunga Langsih
Pada saat kedatangan ini biasanya di awali dengan berbalas pantun dan atraksi buka palang pintu dari pencak silat, dan Pengatin Pria yang diapit oleh kedua orang tua, dua orang pembawa tombak, seorang pembawa payung pengantin, didampingi juru bicara, pembawa bunga langsih dan pembawa ponjen adat serta pembawa hiasan adat dan gegawan ,yang terpenting dari kedatangan ini adalah bunga langsih (bunga yang di maksud terserah jenis bungnya apa yang penting enak di pandang dan sekarang banyak juga yang mengganti bunga langsih ini dengan bunga plastic) yang harus di bawa karena kalau tidak ada pengantin tidak akan dapat masuk kerumah pengantin perempuan.
Pada saat sampai ini maka pengantin perempuan akan memberikan kain tajung dan kemeja kepada pengantin pria “Pemapak” dan dibuatkan “jerambah” (kain panjang biasa atau dari selendang songket yang di bentangkan dari pintu masuk sampai ke pintu kamar pengantin).

Cacap-cacapan & Suap-suapan
Pada saat sepasang pengantin ini keluar mereka menggunakan pakaian khas Palembang yaitu aesan Pak Sangkong atau aesan gede :

Aesan Pak Sangkong
Salah satu gaya busana pengantin adat Palembang adalah Aesan Pak Sangkong. Busana macam ini juga digunakan sebagai Busana Pengantin adat diwilayah Ogan Komering Ilir (OKI) dan Ogan Ilir, Sumatera Selatan (ini kampung emak dan ayah saya). Pengantin wanita mengunakan baju kurung warna merah tabur bunga bintang keemasan, kain songket lepus, teratai penutup dada serta hiasan kepala berupa mahkota Pak Sangkong, Kembang goyang , kelapo standan, kembang kenago dan perhiasan mewah keemasan. Pengantin pria berjubah motif tabor bunga emas, seluar (celana) pengantin, songket lepus, selempang songket serta songkok emas menhiasi kepala.
Keindahan detil busana serta kilau perhiasan keemasan merupakan keistimewaan busana pengantin palembang Aesan Pak Sangkong. Warna merah ningrat pada baju kurung dan songket bersulam emas sungguh memikat, sebagai tanda keagungan warisan karya budaya semasa kejayaan bumi Sriwijaya.

Aesan Gede
Salah satu busana pengantin adat Palembang adalah gaya Aesan Gede. Sebagaimana namanya busana ini merupakan busana kebesaran raja Sriwijaya yang kemudian diterjemahkan sebagai busana pengantin Palembang. Warna merah jambu (pink) dipadu dengan keemasan mencerminkan keagungan bangsawan. Gemerlap perhiasan dan mahkota dipadukan baju dodot dan kain songket mempertegas keagungannya.
Keindahan gaya busana aesan gede memang tak terbantahkan. Mencitrakan keanggunan sosok bangsawan. Gemerlap perhiasan warnah merah keemasan tentunya menjadi pusat perhatian. Mahkota Aesan Gede, bungo cempako, kembang goyang, kelapo standan, merefeksikan kejayaan dan keragaman budaya semasa kejayaan Sriwijaya. Baju dodot dipadu kain songket lepus bermotif napan perak menjadi salah satu keunikannya.
Dengan salah satu pakaian pengantin tersebut maka kedua pengantin tersebut tempat acara untuk di lakukannya cacap-cacapan dan suap-suapan.

Suap-suapan
Kedua acara ini pada di bawakan oleh perempuan baik dari pembawa acara, pelantun pantun, pembaca doa, begitu juga dengan yang melakukan suapan dengan pengantin, pada saat di tempat acara pengantin perempuan duduk di belakang pengantin pria dan di lakukan suapan dari nasi kunyit panggang ayam (mirip seperti tumpeng).
Cacapan-cacapan
Untuk cacap-capan ritual yang di lakukan sama seperti suap-suapan tetapi untuk cacap-cacapan ini berupa air bunga yang di usapkan di dahi dan ubun-ubun (seputaran kepala), untuk sekarang biasanya kedua acara di atas sudah di campur antara perempuan dan laki-laki jadi ada juga yang melakukan cacap-cacapan adalah laki-laki ayah dari pengantin perempuan dan pengantin laki-laki.
Setelah acara ini biasanya di lakukan acara perjamuan dengan susunan makanan panjang di mana di tengahnya ada kelmplang “Tunjung”, srikaya, bolu kojo, bluder dan berbagai makanan lainnya (untuk di ingat biasanya kelmplang tunjung hanya di jadikan sebagai symbol tidak boleh di makan).
Tetapi sekarang ini karena perubahan zaman biasanya setelah kedua acara di atas langsung ke tempat acara resmi seperti ke tenda atau gedung tempat di langsungkannya resepsi pernikahan.

SETELAH PERNIKAHAN

Nganter Bangkeng
Setelah acara munggah selesai, malamnya rombongan muda-mudi dari pihak laki-laki datang ke rumah mempelai wanita untuk mengantarkan pakaian-pakaian mempelai laki-laki.
Muda-mudi dari pihak laki-laki ini disambut oleh muda-mudi dari pihak wanita dengan mengadakan acara gayung bersambut (Ningkuk) sampai larut malam. Inilah yang dinamakan acara “nganter bangkeng”.

Hari Perayaan I

Hari perayaan biasanya di adakan keesokan harinya di rumah mempelai laki-laki (Jika pada saat munggah sudah di tempat perempuan). Pada hari perayaan ini, kedua mempelai dijemput oleh pihak keluarga mempelai laki-laki untuk dibawa ke rumah keluarga mempelai laki-laki, untuk mengadakan suatu acara yang dinamakan “perayaan”.
Acara perayaan ini khusus untuk remaja putri atau gadis-gadis saja, dengan memakai dan mengenakan baju kebaya dan berkain panjang serta berselendang. Hiburannya adalah orkes melayu atau orkes gambus.
Zaman dulu perayaan ini bukan hanya ada juga yang di sebut “Fatayat” yaitu kumpulan ibu-ibu terutama dari pengajian berkumul dengan membaca puji-pujian kepada allah ataupun tadarusan.
Musik yang di pakai pada saat itu adalah Orkes tanjidor yang ber irama melayu tetapi untuk acara saweran biasyanya penyanyinya adalah “banci’yang sudah di dandani bukan seperti sekarang acara Orgen Tunggal dengan penyanyi wanita yang seksi..

Nyanjoi
Rombongan muda-mudi dari pihak mempelai wanita datang ke rumah mempelai laki-laki. Kedatangannya disambut oleh muda-mudi dari pihak mempelai laki-laki dan diisi dengan acara gayung bersambut. Inilah yang dinamakan “nyanjoi penganten”.

Hari Perayaan II
Kedua mempelai dijemput oleh pihak keluarga mempelai wanita untuk dibawa ke rumah mempelai wanita. Maksud penjemputan ini adalah untuk mengadakan acara perayaan yang kedua kalinya, karena perayaan yang pertama sudah diadakan di rumah mempelai laki-laki. Acara perayaan ini tidak jauh berbeda dengan yang diadakan di rumah mempelai laki-laki yang lalu.

Mandi Simburan:

Setelah acara perayaan di rumah mempelai wanita ini selesai, pada sore harinya ada lagi acara pengantin mandi dan diikuti oleh semua keluarga. Acara ini dinamakan “mandi simburan”.
Pada acara ini di siapkan tempat (baskom) yang berisi air dan bunga dan juga rangkaian dari janur untuk prosesi mandi simburan ini, selain kedua mempelai kemeriahaan acara ini di ikuti oleh seluruh keluarga dan masyarakat di lingkungan tempat acara berlangsung umumnya kalau acara mandi simburan ini sudah berlangsung seluruhnya bisa basah.
Setelah mandi simburan ini maka secara resmi pengantin dapat berkumpul untuk melakukan hubungan badan, dan keesokan harinya sebelum di lakukannya “ratiban” maka pengantin laki-laki pulang ke rumah nya untuk memberi tahukan kepada orang tuanya bahwa mereka sudah berkumpul sebagai tanda pengantin laki-laki memberikan emas atau pakaian sebagai tanda atau “UPA” bahwa mereka sudah berkumpul.
Salah satu fungsi utama temu/tunggu jero yang berfungsi di sini adalah bahwa kalau di antara pengantin ada yang merasa kecewa misalnya ketahuan bahwa perempuan tersebut tidak “perwan lagi” atau pengantil laki-laki ternyata sudah memiliki istri sebelumnya maka orang yang pertama di kasih tau adalah “temu/tunggu jero”, oleh karena itulah pada zaman dahulu masyarakat Palembang sangat sedikit sekali yang melakukan perceraian dan juga dapat berfunsi sebagai penanggal atau penjaga keselamatan berlangsungnya seluruh acara perkawinan yang kemungkinan akan ada gangguan dari orang yang tak senang.

Beratip & Tepung Tawar
Akhir acara pihak keluarga mempelai wanita mengadakan acara, “beratip”. Acara ini sebagai penutup dari semua acara yang telah diadakan oleh pihak keluarga kedua mempelai. Acara ini juga untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah, dan rahmat-Nya kepada keluarga yang telah mengadakan semua acara dengan sukses dan selamat. Umumnya acara ini sekarang di lakukan pada Kamis malam atau malam Jumat walaupun pada dulunya sering di lakukan pada sabtu malam atau malam Minggu.
Ratib ini bukan hanya untuk penutup acara pengantin tetapi juga untuk acara-acara selamatan rumah baru, kenaikan pangkat, baru sembuh dari sakit dan beberapa acara lainnya oleh sebab itu ada juga yang di kenal dengan ratib saman.
Dalam upacara perkawinan adat Palembang, peran kaum wanita sangat dominan, karena hampir seluruh kegiatan acara demi acara diatur dan dilaksanakan oleh mereka. Pihak lelaki hanya menyiapkan “ponjen uang”. Acara yang dilaksanakan oleh pihak lelaki hanya cara perkawinan dan acara beratib yaitu acara syukuran disaat seluruh upacara perkawinan sudah diselesaikan.

Jumat, 24 Juli 2009

pernikahan adat minangkabau


Pernikahan Adat Minangkabau

Manusia dalam perjalanan hidupnya melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang dapat kita sebut dengan daur-hidup. Daur hidup ini dapat dibagi menjadi masa balita (bawah usia lima tahun), masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba, masa perkawinan, masa berkeluarga, masa usia senja dan masa tua.Tiap peralihan dari satu masa ke masa berikutnya merupakan saat kritis dalam kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam Adat Minangkabau adalah pada saat menginjak masa perkawinan. Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya, dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri, yang secara rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan demikian perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok. Pada umumnya perkawinan mempunyai fungsi:
Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara pria dengan wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang negara.
Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak.
Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup status sosial dan terutama untuk memperoleh ketentraman batin.
Memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari kepunahan.
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian. Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan. Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut : Kedua calon mempelai harus beragama Islam.

Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya.Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa Perkawinan itu sesuatu yang agung, yang kini diyakini hanya seumur hidup. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang)

TATA CARA PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU

Maresek

Awal dari sebuah perkawinan jika menjadi urusan keluarga, bermula dari penjajakan. Di Minangkabau sendiri kegiatan ini disebut dengan berbagai istilah. Ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada juga yang menyebut marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Namun arti dan tujuannya sama, yaitu melakukan penjajakan pertama.

Siapa yang harus melakukan penjajakan ini? Apakah pihak keluarga yang wanita, atau pihak keluarga yang laki-laki?. Inipun berbeda-beda pelaksanaannya di Sumatera Barat. Ada nagari-nagari dimana pihak perempuan yang datang lebih dahulu melamar. Tapi ada juga nagari-nagari dimana pihak laki-laki yang melakukan pelamaran. Namun sesuai dengan sistem kekerabatan matrilineal yang berlaku di Minangkabau, maka yang umum melakukan lamaran ini adalah pihak keluarga perempuan.

Sebagaimana telah kita sebutkan diatas sebelum lamaran yang sebenarnya dilakukan, maka yang dilaksanakan terlebih dahulu adalah penjajakan. Untuk ini tidak perlu ayah-ibu atau mamak-mamak langsung dari si anak gadis yang akan dicarikan jodoh itu yang datang. Biasanya perempuan-perempuan yang sudah berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu yang diutus terlebih dahulu.
Tujuannya adalah mengajuk-ajuk apa pemuda yang dituju telah niat untuk dikawinkan dan kalau sudah berniat apakah ada kemungkinan kalau dijodohkan dengan anak gadis si Anu yang juga sudah berniat untuk berumah tangga.

Jika mamak atau ayah bundanya nampak memberikan respon yang baik, maka angin baik ini segera disampaikan kembali oleh si telangkai tadi kepada mamak dan ayah bunda pihak si gadis.

Urusan resek maresek ini tidak hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga berlaku sampai sekarang baik bagi keluarga yang masih berada di Sumatera Barat, maupun bagi mereka yang sudah bermukim dirantau-rantau. Terutama tentu saja bagi keluarga-keluarga yang keputusan-keputusan penting mengenai hidup dan masa depan anak-anaknya masih tergantung kepada orang-orang tua mereka. Untuk kasus-kasus yang semacam ini, tentang siapa yang harus terlebih dahulu melakukan penjajakan, tidaklah merupakan masalah. Karena disini berlaku hukum sesuai dengan pepatah petitih:

Sia marunduak sia bungkuak
Sia malompek sia patah

Artinya siapa yang lebih berkehendak
Tentulah dia yang harus mengalah

Seringkali resek-maresek ini tidak selesai satu kali, tapi bisa berlanjut dalam beberapa kali perundingan. Dan jika semuanya telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakan masing-masing dan segala persyaratan untuk itupun telah disetujui oleh pihak keluarga laki-laki dengan telangkai yang datang, maka barulah langkah selanjutnya ditentukan untuk mengadakan pertemuan secara lebih resmi oleh keluarga kedua belah pihak. Acara inilah yang disebut acara maminang.

Maminang

Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan dijodohkan itu dengan dipimpin oleh mamak mamaknya datang bersama-sama kerumah keluarga calon pemuda yang dituju. Lazimnya untukacara pertemuan resmi pertama ini diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita yang patut-patut dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika sekiranya si mamak sendiri bukan orang ahli untuk itu.

Untuk menghindarkan hal-hal yang dapat menjadi penghalang bagi kelancaran pertemuan kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya si telangkai yang telah marisiak, sebelumnya telah membicarakan dan mencari kesepakatan dengan keluarga pihak pria mengenai materi apa saja yang akan dibicarakan pada acara maminang itu. Apakah setelah meminang dan pinangan diterima lalu langsung dilakukan acara batuka tando atau batimbang tando?

Batuka tando secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Kedua belah pihak keluarga yang telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakannya itu, saling memberikan benda sebagai tanda ikatan sesuai dengan hukum perjanjian pertunangan menurut adat Minangkabau yang berbunyi:

Batampuak lah buliah dijinjiang,
Batali lah buliah diirik

Artinya kalau tanda telah dipertukarkan dalam satu acara resmi oleh keluarga kedua belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda tersebut telah ada keterikatan dan pengesahan masyarakat sebagai dua orang yang telah bertunangan, tetapi juga antar kedua belah keluarga pun telah terikat untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak dapat memutuskan secara sepihak perjanjian yang telah disepakati itu.

Barang-barang yang Dibawa

Barang-barang yang dibawa waktu maminang, yang utama adalah sirih pinang lengkap. Apakah disusun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak menjadi soal. Yang penting sirih lengkap harus ada. Tidaklah disebut beradat sebuah acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan.

Pada daun sirih yang akan dikunyah menimbulkan dua rasa dilidah, yaitu pahit dan manis, terkandung simbol-simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan kekurangan-kekurangan mereka. Lazim saja selama pertemuan itu terjadi kekhilafan-kekhilafan baik dalam tindak-tanduk maupun dalam perkataan, maka dengan menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala yang janggal itu tidak akan jadi gunjingan. Sebagaimana dalam pasambahan siriah disebutkan :

Kok Siriah lah kami makan
Manih lah lakek diujuang lidah
Pahik lah luluih karakuangan
Jika sirih sudah kami makan
Yang manis lekat di ujung lidah
Yang pahit lolos ke kerongkongan

Artinya orang tidak lagi mengingat-ingat segala yang jelek, hanya yang manis saja pada pertemuan itu yang akan melekat dalam kenangannya. Kalau disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus juga akan dilangsungkan acara batuka tando atau batimbang tando maka benda yang akan dipertukarkan sebagai tanda itu juga dibawa; yang tentu saja diletakkan pada satu wadah yang sudah dihiasi dengan bagus (dulung atau nampan). Yang dijadikan sebagai tanda untuk dipertukarkan lazimnya adalah benda-benda pusaka, seperti keris, atau kain adat yang mengandung nilai sejarah bagi keluarga. Jadi bukan dinilai dari kebaruan dan kemahalan harganya, tetapi justru karena sejarahnya itu yang sangat berarti dan tidak dapat dinilai dengan uang. Umpamanya sebuah kain balapak yang telah berumur puluhan tahun yang pernah diwariskan oleh nenek si gadis sebelum meninggal, atau kain adat yang pernah dipakai oleh ibu si gadis pada perkawinannya puluhan tahun yang lalu.

Karena nilai-nilai sejarahnya inilah maka barang-barang yang dijadikan tanda itu menjadi sangat berharga bagi keluarga yang bersangkutan dan karena itu pula maka setelah nanti akad nikah dilangsungkan, masing-masing tanda ini harus dikembalikan lagi dalam suatu acara resmi oleh kedua belah pihak.

Sesuai dengan etika pergaulan, bertandang biasapun kerumah orang, lazim kita membawa buah tangan, maka dalam acara resmi beradat, seyogyanya pihak rombongan yang datang juga membawa kue-kue atau buah-buahan sebagai oleh-oleh.

Urutan Acara

Pembicaraan dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau wakil dari pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda. Bertolak dari penjajakan-penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya ada empat hal secara simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat ini.

Melamar.

Menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak keluarga si gadis kepada pihak keluarga si pemuda Batuka tando. Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing Baretong. Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjemputan calon pengantin pria waktu akan dinikahkan.

Manakuak hari. Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan

Namun menurut yang lazim dikampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang sudah direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali sebelum urutan ketentuan diatas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga pemuda pasti tidak dapat memberikan jawaban langsung pada pertemuan pertama itu. Orang tuanya atau ninik mamaknya akan meminta waktu terlebih dahulu untuk memperembukkan lamaran itu dengan keluarga-keluarganya yang patut-patut lainnya. Paling-paling pada pertemuan tersebut, pihak keluarga pemuda menentukan waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu.

Acara maminang yang berlangsung dikota-kota umumnya sudah dibuat dengan skenario yang praktis berdasarkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan seperti yang dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara simultan dan diselesaikan dalam satu kali pertemuan.


Minta Izin / Mahanta Siriah

Bila seseorang pemuda telah ditentukan jodoh dan hari perkawinannya, maka kewajiban yang pertama menurut adat yang terpikul langsung ke diri orang yang bersangkutan, ialah memberi tahu dan mohon doa restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara ayahnya; kepada kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang dihormati dalam keluarganya. Acara ini pada beberapa daerah di Sumatera Barat disebut minta izin.

Bagi pihak calon pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah terpikul langsung kepada calon anak daro, tetapi dilaksanakan oleh kaum keluarganya yang wanita yang telah berkeluarga. Acaranya bukan disebut minta izin tapi mahanta siriah atau menghantar sirih. Namun maksud dan tujuannya sama. Tugas ini dilaksanakan beberapa hari atau paling lambat dua hari sebelum akad nikah dilangsungkan.

Tata Cara

Pada hari yang telah ditentukan calon mempelai pria dengan membawa seorang kawan (biasanya teman dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi mendatangi langsung rumah isteri dari keluarga-keluarga yang patutu dihormati seperti disebutkan diatas.

Setelah menyuguhkan rokok (menurut cara lama menyuguhkan salapah yang berisi daun nipah dan tembakau) sebagai pembuka kata, kemudian secara langsung pula memberitahu kepada keluarga yang didatangi itu bahwa ia kalau diizinkan Allah, akan melaksanakan akad nikah. Kemudian menjelaskan segala rencana perhelatan yang akan diadakan oleh orang tuanya. Lalu minta izin (mohon doa) restu dan kalau perlu minta sifat dan petunjuk yang diperlukan dalam rencana perkawinan itu. Terakhir tentu memohon kehadiran orang bersangkutan serta seluruh
keluarganya pada hari-hari perhelatan tersebut.

Biasanya keluarga-keluarga yang didatangi tidaklah melepas pulang begitu saja keluarganya yang datang minta izin secara akrab seperti itu. Dengan dihormati begitu oleh anak kemenakannya, mereka juga merasa terpanggil untuk ikut memikul beban (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul) dengan memberikan bingkisan-bingkisan yang berguna bagi orang yang akan pesta. Walaupun misalnya hanya satu kilogram gula pasir saja, sesuai dengan kemampuannya.

Tata Busananya

Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin pria diharuskan untuk mengenakan busana khusus. Ada dua pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai sekarang dibeberapa daerah di Sumatera Barat:

Mengenakan celana batik dengan baju gunting cina berkopiah hitam dan menyandang kain sarung palekat (atau sarung Bugis) Mengenakan celana batik dengan kemeja putih yang diluarnya dilapisi dengan jas, kerah kemeja keluar menjepit leher jas. Tetap memakai kopiah dengan kain sarung pelekat yang disandang di bahu atau dilingkarkan di leher.

Dahulu si calon mempelai juga diharuskan untuk membawa salapah (semacam tempat untuk rokok daun nipah dengan tembakaunya). Tapi sekarang anak-anak muda telah menukarnya dengan rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang tersebut hanyalah sebagai suguhan pertama sebelum membuka kata.

Bagi keluarga calon pengantin wanita yang bertugas melaksanakan acara ini yang disebut mahanta siriah, peralatan yang dibawa sesuai dengan namanya yaitu seperangkat daun sirih lengkap bersadah pindang yang telah tersusun rapi baik diletakkan diatas carano maupun didalam kampia (tas yang terbuat dari daun pandan). Sebelum maksud kedatangan disampaikan maka sirih ini terlebih dahulu yang disuguhkan kepada orang yang didatangi.


Babako-Babaki

Sesuai dengan judulnya, maka pelaksanaan acara ini dalam rentetan tata cara perkawinan menurut adat Minangkabau memang dilaksanakan oleh pihak bako. Yang disebut bako, ialah seluruh keluarga dari pihak ayah. Sedangkan pihak bako ini menyebut anak-anak yang dilahirkan oleh keluarga mereka yang laki-laki dengan isterinya dari suku yang lain dengan sebutan anak pusako. Tetapi ada juga beberapa nagari yang menyebutnya dengan istilah anak pisang atau ujung emas.

Dalam sistem kekerabatan matrilinial di Minangkabau, pihak keluarga bapak tidaklah begitu banyak terlibat dan berperan dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga anak pusako. Menurut ketentuan adat setidaknya ada empat peristiwa dalam kehidupan seorang anak pusako dimana pihak bako ikut berkewajiban untuk mengisi adat atau melaksanakan acaranya secara khusus. Empat peristiwa tersebut adalah :

Waktu melaksanakan acara turun mandi atau memotong rambut anak pusako beberapa waktu setelah dilahirkan.
Waktu perkawinannya.
Waktu pengangkatannya jadi penghulu (kalau dia laki-laki)
Waktu kematian

Khusus pada waktu perkawinan anak pusako, keterlibatan pihak bako ini terungkap dalam acara adat yang disebut babako-babaki. Dalam acara ini, sejumlah keluarga ayah secara khusus mengisi adat dengan datang berombongan ke rumah calon mempelai wanita dengan membawa berbagai macam antaran. Acara ini bisa besar, bisa kecil, tergantung kepada kemampuan pihak keluarga bako.

Hakikat dari acara ini adalah bahwa pada peristiwa penting semacam ini, pihak keluarga ayah ingin memperlihatkan kasih sayangnya kepada anak pusako mereka dan mereka harus ikut memikul beban sesuai dengan kemampuan mereka.

Karena itulah dalam acara ini rombongan pihak bako waktu datang kerumah anak pusakonya membawa berbagai macam antaran. Terdiri dari berbagai macam barang yang diperlukan langsung oleh anak pusako, seperti pakaian, bahan baju, perhiasan emas, lauk pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan lain sebagainya.

Acara ini dilaksanakan beberapa hari sebelum acara akad nikah dilangsungkan. Untuk efisiensi waktu dan biaya terutama dikota-kota besar, acara babako-babaki ini sekarang sering disetalikan pelaksanaannya dengan acara malam bainai.

Sore harinya pihak bako datang dan tetap tinggal dirumah anak pusakonya itu untuk dapat mengikuti acara bainai yang akan dilangsungkan malam harinya.

Tata cara

Menurut tradisi kampung, gadis anak pusako yang akan kawin biasanya dijemput dulu oleh bakonya dan dibawa kerumah keluarga ayahnya itu. Calon anak daro ini akan bermalam semalam dirumah bakonya, dan pada kesempatan itu yang tua-tua akan memberikan petuah dan nasehat yang berguna bagi si calon pengantin sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan berumah tangga nanti.

Besoknya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan calon pengantin wanita didandani oleh bako dan lazimnya juga dipakaikan padanya pakaian adat pusaka bako, kemudian baru diantarkan secara beramai-ramai dalam satu arak-arakan adat ke rumah ibu bapaknya.

Arak-arakan bako mengantar anak pusako ini diiringkan oleh para ninik mamak dan ibu-ibu yang menjunjung berbagai macam antaran dan sering pula dimeriahkan dengan iringan pemain-pemain musik tradisional yang ditabuh sepanjang jalan. Keluarga ibu juga mempersiapkan penyambutan kedatangan rombongan bako ini dengan tidak kalah meriahnya. Mulai dari penyambutan di halaman dengan tari galombang sampai kepada penyediaan hidangan-hidangan diatas rumah.

Setelah naik ke atas rumah, maka seluruh barang antaran sebagai tanda putih hati yang dibawa bako-bako tersebut (kecuali binatang ternak yang hidup) dijajarkan di tengah rumah untuk dapat disaksikan oleh orang banyak.

Biasanya yang menjadi juru bicara dalam acara ini adalah perempuan yang dihormati dalam keluarga bako. Dialah yang dengan bahasa yang penuh papatah petitih akan menyampaikan maksud kedatangan mereka dan membilang satu persatu antaran yang mereka bawa sebagai tanda putih hati dan kasih sayang kepada anak pusakonya. Dari pihak keluarga calon anak daro biasanya yang menyambut juga perempuan yang sama mahirnya dalam berbasa-basi.

Barang-barang yang dibawa bako

Sirih lengkap dalam carano (sebagai kepala adat)
Nasi kuning singgang ayam (sebagai makanan adat)
Perangkat busana. Bisa berupa bahan pakaian atau baju yang telah dijahit, selimut dll
Perangkat perhiasan emas.
Perangkat bahan mentah yang diperlukan di dapur untuk persiapan perhelatan, seperti beras, kelapa, binatang-binatang ternak yang hidup, seperti ayam, kambing atau kerbau.
Perangkat makanan yang telah jadi, baik berupa lauk pauk maupun kue-kue besar atau kecil.

Menurut tradisi di kampung dulu, bawaan pihak bako ini juga dilengkapi dengan berbagai macam bibit tumbuh-tumbuhan yang selain mengandung arti simbolik juga dapat dipergunakan oleh calon anak daro dan suaminya sebagai modal untuk membina perekonomian rumah tangganya nanti. Misalnya bibit kelapa, bibit padi dan tumbuh-tumbuhan lainnya.

Lazim juga dibeberapa daerah di Minangkabau, air harum racikan dari haruman tujuh macam bunga dengan sitawa sidingin dan tumbukan daun inai yang akan dipergunakan dalam acara mandi-mandi dan bainai, langsung disiapkan dan ikut dibawa dalam arak-arakan keluarga bako ini.

Semua barang bawaan keluarga bako ini ditata secara khas diatas wadahnya sesuai dengan tradisi di daerahnya masing-masing. Malah ada kalanya kerbau hidup yang dibawapun didandani dan diberi pakaian khusus agar nampak menarik dan serasi untuk tampil dalam arak-arakan itu.

Dibeberapa daerah SumBar acara yang sama dengan tujuan yang sama juga dilakukan oleh pihak keluarga ayah terhadap calon mempelai pria.

Malam Bainai

Secara harfiah bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita. Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku.

Lazimnya dan seharusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum besok paginya calon anak daro melangsungkan akad nikah. Apa sebab demikian ?

Pekerjaan mengawinkan seorang anak gadis untuk pertama kalinya di Minangkabau bukan saja dianggap sebagai suatu yang sangat sakral tetapi juga kesempatan bagi semua keluarga dan tetangga untuk saling menunjukkan partisipasi dan kasih sayangnya kepada keluarga yang akan berhelat. Karena itu jauh-jauh hari dan terutama malam hari sebelum akad nikah dilangsungkan semua keluarga dan tetangga terdekat tentu akan berkumpul di rumah yang punya hajat. Sesuai dengan keakraban masyarakat agraris mereka akan ikut membantu menyelesaikan berbagai macam pekerjaan, baik dalam persiapan di dapur maupun dalam menghias ruangan-ruangan dalam rumah. Pada kesempatan inilah acara malam bainai itu diselenggarakan, dimana seluruh keluarga dan tetangga terdekat mendapat kesempatan untuk menunjukkan kasih sayang dan memberikan doa restunya melepas dara yang besok pagi akan dinikahkan.

Selain dari tujuan, menurut kepercayaan orang-orang tua dulu pekerjaan memerahkan kuku-kuku jari calon pengantin wanita ini juga mengandung arti magis. Menurut mereka ujung-ujung jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan yang bisa melindungi si calon pengantin dari hal-hal buruk yang mungkin didatangkan manusia yang dengki kepadanya. Maka selama kuku-kukunya masih merah yang berarti juga selama ia berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap terlindung dari segala mara bahaya. Setelah selesai melakukan pesta-pesta pun warna merah pada kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia sudah berumah tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua dengan suaminya kemana saja.

Kepercayaan kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sekarang cuma merupakan bagian dari perawatan dan usaha untuk meningkatkan kecantikan mempelai perempuan saja. Tidak lebih dari itu. Memerahkan kuku jari tidak punya kekuatan menolak mara bahaya apa pun, karena semua kekuatan adalah milik Allah semata-mata.

Dibeberapa nagari di Sum Bar acara malam bainai ini sering juga diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang dilaksanakan khusus oleh wanita-wanita disiang hari atau sore harinya. Maksudnya kira-kira sama dengan acara siraman dalam tradisi Jawa. Calon anak daro dibawa dalam arak-arakan menuju ke tepian atau ke pincuran tempat mandi umum yang tersedia dikampungnya. Kemudian perempuan-perempuan tua yang mengiringkan termasuk ibu dan neneknya, setelah membacakan doa, secara bergantian memandikan anak gadis yang besok akan dinobatkan jadi pegantin itu.

Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai tujuan dan makna sbb:

Untuk mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan masa remajanya,
Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membinakehidupan baru berumahtangga,
Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang sakral, yaitu akad nikah,
Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.

Bagi orang-orang Minang yang mengawinkan anak gadisnya di Jakarta, acara-acara ini juga sudah lazim dilaksanakan. Tetapi untuk efisiensi waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain seringkali kedua acara tersebut pelaksanaannya digabung menjadi satu. Acara mandi-mandipun dibuat praktis tanpa harus benar-benar mengguyur si calon pengantin, tapi cukup dengan memercikkan saja air yang berisi haruman tujuh kembang itu di beberapa tempat ditubuhnya.

Tata busana

Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin wanita didandani dengan busana khusus yang disebut baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah semacam selendang yang dibalutkan menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan lengan nampak terbuka.

Untuk serasi dengan suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga mengenakan baju-baju khusus. Teluk belanga bagi pria dan baju kurung ringan bagi wanita, begitu juga ayah bunda dari calon anak daro.

Disamping itu biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak daro yang sengaja diberi berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan suasana.

Tata cara

Jika acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolis maka di salah satu ruangan di atas rumah ditempatkan sebuah kursi dengan payung kuning terkembang melindunginya. Sesudah sembahyang Magrib kalau tamu-tamu sudah cukup hadir, maka calon anak daro yang telah didandani dibawa keluar dari kamarnya, diapit oleh gadis-gadis kawan sebayanya yang berpakaian adat.

Untuk memberikan warna Islami, keluarnya calon anak daro dari kamarnya ini disambut oleh kelompok kesenian yang mendendangkan salawat Nabi yang mengiringkannya sampai duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang dari saudaranya yang laki-laki, apakah kakaknya atau adiknya, berdiri dibelakangnya memegang payung kuning. Ini maknanya ialah bahwa saudara laki-laki yang kelak akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan oleh calon pengantin merupakan tungganai rumah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan menjaga kehormatan saudara-saudaranya dan kemenakan-kemenakannya yang wanita.

Setelah itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri mengapit dikiri kanan sambil memegang kain simpai. Ini maknanya : menurut sistem kekerabatan matrilinial, saudara-saudara ibu yang wanita adalah pewaris pusako yang berkedudukan sama dengan ibu anak daro.

Karena itu dia juga berkewajiban untuk melindungi anak daro dari segala aib yang bisa menimbulkan gunjingan yang dapat merusak integritas kaum seperinduan.

Walaupun acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolik, kecuali ayah kandungnya maka orang-orang yang diminta untuk memandikan dengan cara memercikkan air haruman tujuh macam bunga kepada calon pengantin wanita ini hanya ditentukan untuk perempuan-perempuan tua dari keluarga terdekat anak daro dan dari pihak bakonya. Jumlahnya harus ganjil. Umpamanya lima, tujuh atau sembilan orang. Dan yang terakhir melakukannya adalah ayah ibunya.

Jumlah ganjilnya ini ditetapkan sesuai dengan kepercayaan nenek moyang dahulu yang mungkin mengambil pedoman dari kekuasaan Tuhan dan peristiwa alam, atau karena angka-angka ganjil selalu berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sakral.
Seperti sembahyang lima waktu, langit berlapis tujuh, sorga yang paling diidamkan oleh seorang Muslim juga sorga ketujuh. Tawaf keliling Ka'bah dan Sa'i pulang balik antara Safa dan Marwa dilaksanakan juga tujuh kali.

Pada beberapa kenagarian calon anak daro yang akan dimandikan itu selain disiram dengan air yang berisi racikan tujuh kembang, maka tubuhnya juga dibaluti dengan tujuh lapis kain basahan yang berbeda-beda warnanya. Setiap kali satu orang tua selesai menyiramkan air ketubuhnya, maka satu balutan kain dibuka, dst.

Jika acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara simbolik, maka air haruman tujuh bunga itu dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan mempergunakan daun sitawa sidingin. Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering dipakai diluar maupun diminum, ia berkhasiat untuk menurunkan panas badan. Karena itu disebut daun sitawa sidingin.

Acara memandikan calon anak daro ini diakhiri oleh ibu bapaknya. Setelah itu kedua orang tuanya itu akan langsung membimbing puterinya melangkah menuju ke pelaminan ditempat mana acara bainai akan dilangsungkan.

Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain jajakan kuning yang terbentang dari kursi tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan.

Langkah diatur sangat pelan-pelan sekali karena kedua orang tua harus menghayati betul acara itu yang mengandung nilai-nilai simbolik yang sangat berarti.
Setelah sekian tahun ia membesarkan dan membimbing puterinya dengan penuh kehormatan dan kasih sayang, maka malam itu adalah kesempatan terakhir ia dapat melakukan tugasnya sebagai ibu bapa, karena besok setelah akad nikah maka yang membimbingnya lagi adalah suaminya.

Kain jajakan kuning ini setelah diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro, segera digulung oleh saudara kali-lakinya yang tadi waktu acara mandi-mandi memegang payung kuning. Tindak penggulungan kain kuning itu mengandung harapan-harapan, bahwa si calon anak daro benar-benar melakukan perkawinan itu cukuplah satu kali itu saja seumur hidupnya. Kalaupun akan berulang, maka itu karena maut yang memisahkan mereka.

Bainai

Jika acara memandikan calon anak daro hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, maka acara melekatkan tumbuhan inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita Minang ini dapat dilakukan oleh siapa saja.
Dapat pula dimintakan untuk dilaksanakan oleh tamu-tamu yang dihormati malam itu, bisa oleh keluarga calon besan.

Ada beberapa kenagarian di SumBar, acara bainai ini juga dapat dilakukan bersamaan dengan mengikutsertakan calon pengantin pria.
Tapi duduk mereka tidak disandingkan, dan kalaupun ada yang langsung mempersandingkan maka tempat calon pengantin pria tidak di sebelah kanan, tetapi di sebelah kiri calon pengantin
wanita.

Kuku jari yang diinai sama juga dengan acara mandi-mandi, harus ganjil jumlahnya. Paling banyak sembilan.

Menurut tradisi di kampung dulu, kesempatan pada acara bainai ini setiap orang tua yang diminta untuk melekatkan inai ke jari calon anak daro setelah selesai biasanya mereka berbisik ke telinga anak daro. Bisikan-bisikan itu bisa berlangsung lama, bisa sangat singkat.

Maksudnya mungkin untuk memberikan nasehat-nasehat yang sangat rahasia mengenai kehidupan berumahtangga, atau bisa juga hanya sekedar seloroh untuk membuat si calon anak daro tidak cemberut saja dihadapan orang ramai.

Pelaksanaan kedua acara ini biasanya dipimpin oleh perempuan-perempuan yang memang telah ahli mengenai pekerjaan ini yang dibeberapa daerah di Sum Bar disebut uci-uci.

Seringkali juga pada malam bainai ini acara dimeriahkan dengan menampilkan kesenian-kesenian tradisional Minang.
Di daerah pantai Sum Bar, hiburan yang ditampilkan lazimnya ialah musik gamat dengan irama yang hampir sama dengan lagu-lagu senandung dan joget Melayu Deli, sehingga mampu untuk mengundang orang secara spontan tegak menari menyambut selendang-selendang yang diulurkan oleh para penyanyi dan penari-penari wanita.

Manjapuik Marapulai

Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acaraperkawinan menurut adat istiadat Minangkabau. Menjemput calon pengantin pria kerumah orang tuanya untuk dibawa melangsungkan akad nikah di rumah kediaman calonpengantin wanita.

Dahulu di kampung-kampung biasanya cukup beberapa orang laki-laki saja dari keluarga calon pengantin wanita yang menjemput calon pengantin pria ini untuk melafaskan ijab kabul di mesjid-mesjid. Setelah selesai akad nikah barulah kemudian keluarga besar kembali menjemput menantunya itu ke rumah orang tuanya untuk dipersandingkan di rumah pengantin wanita.

Tetapi sekarang untuk efisiensi waktu yang lazim berlaku di kota-kota besar, akad nikah diadakan di rumah calon pengantin wanita dan setelah itu langsung kedua pengantin dipersandingkan di pelaminan. Maka untuk acara yang semacam ini, penjemputan calon mempelai pria ke rumah orang tuanya harus dilaksanakan sepanjang adat dengan memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya.

Sering terjadi sampai sekarang terutama untuk perkawinan-perkawinan yang diatur oleh orang tua-tua sebuah rencana perkawinan batal gara-gara ketidakcocokan dalam soal jemput menjemput calon marapulai atau mempelai ini. Kekisruhan ini bisa terjadi bukan saja karena tidak sesuainya barang-barang yang dibawa pihak keluarga calon pengantin wanita untuk menjemput, tapi bisa juga karena dirasa juga tidak memenuhi ketentuan-ketentuan adat istiadat menurut tata cara kampungnya atau luhak adatnya yang berbeda-beda.

Secara umum menurut ketentuan adat yang lazim, dalam menjemput calon pengantin pria keluarga calon pengantin wanita harus membawa tiga bawaan wajib, yaitu :

Pertama

Sirih lengkap dalam cerana menandakan datangnya secara beradat.

Kedua

Pakaian pengantin lengkap dari tutup kepala sampai ke alas kaki yang akan dipakai oleh calon pengantin pria.

Ketiga

Nasi kuning singgang ayam dan lauk pauk yang telah dimasak serta makanan dan kue-kue lainnya sebagai buah tangan.


Hal-hal diluar ini, itu tergantung kepada adat istiadat daerah masing-masing yang berbeda-beda, serta perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Umpamanya untuk daerah pesisir Sumatera Barat seperti Padang dan Pariaman, berlaku ketentuan untuk membawa payung kuning tujuh tungketan, tombak janggo janggi, pedang (kalau si calon pengantin prianya bergelar Marah, Sidi dan Bagindo) dll.
Jika ada perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya dimana pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa uang jemputan, uang hilang, atau apapun namanya,maka segala yang dijanjikan itu harus dibawa secara resmi waktu melakukan acara menjemput marapulai ini. Semua bawaan ini ditata rapi pada wadahnya masing-masing.

Banyak atau sedikitnya bawaan yang dibawa serta banyak atau sedikitnya jumlah keluarga pihak calon pengantin wanita yang datang menjemput, sering menjadi ukuran besar kecilnya pesta yang diadakan itu.

Untuk melepas anak kemenakan mereka yang akan melakukan akad nikah ini, pihak keluarga calon pengantin pria biasanya juga mengumpulkan seluruh keluarganya yang patut-patut. Termasuk ninik mamak dan para rang sumandonya. Situasi ini dengan sendirinya membuat acara tersebut menjadi sangat resmi, dimana kedua belah pihak keluarga saling berusaha untuk memperlihatkan adat sopan dan basa-basi yang baik.

Adat sopan dan basa-basi yang baik itu, bukan hanya tercermin dalam sikap dan tindak tanduk saja, tetapi juga harus terungkap didalam tutur kata.
Oleh karena itulah maka pada acara manjapuik marapulai ini, kedua belah pihak keluarga harus menyediakan jurubicara yang dianggap mahir untuk bersikap dan bertutur kata yang baik sesuai dengan tata cara adat yang disebut alur pasambahan, atau yang pandai melaksanakan sambah manyambah.

Untuk acara sambah-manyambah dalam alek kawin ini menurut adat Minangkabau tidak perlu harus dilakukan oleh seorang ninik mamak atau penghullu, tetapi dipercayakan kepada yang muda-muda terutama para rang sumando baru dalam lingkungan keluarga masing-masing. Sebagai orang yang dihormati dan dituakan maka ninik mamak dan penghulu dalam pesta perkawinan berperan sebagai tumpuan untuk bermufakat atau tempat memulangkan kata, jika ada hal-hal alam pembicaraan yang memerlukan petunjuk dan saran dari yang tua-tua.

Oleh karena kewajiban sambah-manyambah ini merupakan keahlian yang tidak dimiliki oleh setiap orang, maka seringkali dikampung-kampung dulunya acara semacam ini oleh para jurubicara yang ditunjuk, dijadikan ajang untuk saling memamerkan kefasihan mereka masing-masing dalam melafalkan pepatah-petitih dan merentetkan kembali tambo alam Minangkabau, sehingga acara menjadi bertele-tele memakan waktu yang panjang dan membosankan.

Sesuai dengan efisiensi waktu pada zaman sekarang ini, dimana akad nikah juga harus tunduk kepada jadwal yang telah ditentukan, maka dengan tidak mengurangi hakekat acara tersebut sebagai suatu yang harus nampak beradat, maka acara sambah-manyambah ini bisa dipadatkan dengan hanya menyebut bagian-bagian yang memang perlu dan wajib disebut sesuai dengan tujuan kedatangan rombongan itu sendiri.
Oleh karena didalam pelajaran sambah-manyambah pun ada tata cara pasambahan yang dikategorikan sebagai pangka batang untuk setiap acara yang dihadapi.

Di dalam acara manjapuik marapulai ini maka yang pokok-pokok harus disebut itu adalah sbb:

Pasambahan menghormati yang tua-tua dan yang patut-patut yang ada diatas rumah,
Pasambahan menyuguhkan sirih adat,
Menyampaikan maksud kedatangan,
Memohon semua keluarga tuan rumah ikut mengiringkan,
Menanyakan gelar calon menantu mereka,
Berterima kasih atas sambutan dan hidangan yang disuguhkan.

Tata cara

Sesuai dengan hari dan jam yang telah disepakati dengan memperhitungkan jarak yang akan ditempuh serta jadwal waktu akad nikah yang telah ditetapkan sesuai dengan undangan, maka rombongan penjemput berangkat menuju rumah calon pengantin pria bersama-sama sambil membawa segala perlengkapan sebagaimana yang telah disebutkan pada bab terdahulu.

Pihak keluarga calon pengantin pria menyambut dan menunggu tamunya di pekarangan rumah sambil menyiapkan pula sejumlah orang-orang yang akan menjawat atau menerima barang-barang yang dibawa oleh rombongan yang datang.

Setelah segala bawaan yang dibawa oleh rombongan penjemput ini diterima dihalaman, maka semua rombongan penjemput dipersilakan naik ke atas rumah.
Para tamu yang datang menurut adat Minang didudukkan pada bagian yang paling baik di atas rumah. Kalau ada pelaminan; disekitar pelaminan menghadap ke pintu masuk, sedangkan tuan rumah (sipangka) berjejer sekitar pintu atau pada bagian yang dilalui untuk menuju ke dapur atau ke ruang dalam.

Barang-barang bawaan rombongan penjemput termasuk sirih dalam cerana setelah diterima di halaman, biasanya ditata dulu dengan baik dan dijejerkan ditengah-tengah rumah agar dapat disaksikan oleh semua orang.

Dalam acara manjapuik marapulai ini yang lazim pembicaraan dimulai oleh pihak yang datang. Jika rombongan yang datang membawa seorang juru bicara yang pandai sambah manyambah, maka sebelum pembicaraan dimulai haruslah terlebih dahulu pihak yang datang sambil berbisik bertanya kepada orang yang menanti kepada siapa sembah ini akan ditujukan.

Pertanyaan berbisik ini merupakan tata tertib yang perlu dilaksanakan, agar sambah yang akan ditujukan itu jatuh kepada orang yang tepat, artinya orang yang memang telah mempunyai keahlian sepadan untuk menjawab kata secara alur persembahan. Sebab kalau tidak, maka sembah yang dituhuakkan kepada seseorang yang ternyata bukan seorang yang menguasai seni ini, maka ini dapat membuat malu dan canggung orang yang dituju dan bahkan juga dapat menimbulkan rasa kurang enak dihati tuan rumah.

Pembicaraan pertama yang dibuka oleh pihak yang datang ini, tidak pulalah sopan jika secara langsung mengungkapkan maksud kedatangan rombongan. Yang lazim adalah juru bicara setelah menyatakan terima kasih atas penyambutan yang ramah dan baik dari tuan rumah dalam menerima kedatangan mereka, maka ia akan bertanya terlebih dahulu, apakah dia sudah dibenarkan untuk menyampaikan maksud dari kedatangan rombongan. Didalam alur persembahan kalimat bertanya tersebut terungkap dalam kata-kata bersayap sbb:

Jikok ado nan takana di ati
Nan tailan-ilan dimato
Alah kok buliah kami katangahkan ?

Lazimnya menurut tata tertib yang betul sebagaimana yang tetap berlaku sampai sekarang di ranah minang, tuan rumah melalui jurubicaranya tidaklah akan menjawab begitu saja secara langsung memberikan izin kepada rombongan yang datang untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka.

Orang bertamu ke rumah orang lain biasanya disuguhi air minum agak seteguk lebih dahulu sebelum berunding, apalagi satu rombongan yang datang secara beradat.
Ini sesuai dengan idiom Minang yang mengatakan :

Jikok manggolek di nan data
Jikok batanyo lapeh arak
Jikok barundiang sudah makan

Demikian pembicaraan akan terputus sementara untuk mempersilakan tamu-tamu makan atau setidak-tidaknya minum segelas air dan mencicipi kue-kue yang telah disediakan.

Setelah selesai acara santap atau makan kue-kue kecil ini, barulah juru bicara pihak rombongan yang datang kembali mengangkat sembah, mengulangi kembali pertanyaan yang tertunda tadi. Setelah jurubicara tuan rumah menyatakan bahwa runding sudah bisa dilanjutkan, maka barulah jurubicara yang datang secara terperinci mengemukakan maksud kedatangan rombongan dalam alur persembahannya yang pokok-pokok isinya harus memenuhi ketentuan-ketentuan adat menjemput maapulai sbb :

Menyatakan bahwa mereka itu merupakan utusan resmi mewakili pihak keluarga calon pengantin wanita.
Bahwa mereka datang secara adat. Maningkek janjang manapiak bandua dengan membawa sirih dalam carano.
Bahwa tujuan mereka adalah untuk menjemput calon mempelai pria (sebutkan namanya dan nama orang tuanya dengan jelas).
Menegaskan bahwa jemput itu jemput terbawa, sekalian dengan keluarga yang akan mengiringkan.

Kalimat-kalimat dalam alur persembahan bisa bervariasi panjang dengan menyebut dan membeberkan kembali sejarah kelahiran seorang anak sampai dewasa dan sampai berumah tangga atau mengulang-ulang tambo sejarah ninik moyang orang Minang mulai dari puncak Gunung Merapi sampai ke laut yang sedidih dsb.
Tetapi itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan inti maksud kedatangan rombongan, kecuali hanya untuk memamerkan keahlian si tukang sembah. Sedangkan yang pokok menurut adat untuk disebut adalah yang berhubungan dengan empat ketentuan di atas.

Setelah keempat maksud itu disampaikan, dan diterima oleh jurubicara tuan rumah maka barulah seperangkat pakaian yang dibawa oleh rombongan penjemput diserahkan kepada tuan rumah untuk bisa segera dipakaikan kepada calon mempelai pria.

Sambil menunggu calon mempelai pria berpakaian, barulah dilanjutkan lagi acara dengan alur persembahan menanyakan gelar calon mempelai pria.

Setelah selesai acara sambah-manyambah ini, dan setelah selesai calon mempelai pria didandani dan dikenakan busana yang dibawa oleh keluarga calon mempelai wanita, maka sebelum rombongan termasuk rombongan keluarga yang laki-laki berangkat bersama-sama menuju rumah kediaman calon mempelai wanita, haruslah calon mempelai pria memohon doa restu terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya dan kepada keluarga-keluarganya yang tua-tua dan yang pantas untuk dihormati dalam kaumnya.

Oleh karena anak laki-laki di dalam kekerabatan Minang kalau sudah beristeri biasanya akan tinggal di rumah isterinya, maka sering juga anak laki-laki yang akan kawin itu disebut akan menjadi "anak orang lain". Sehingga momen permohonan doa restu ketika akan berangkat nikah, seringkali menjadi sangat mengharukan, dimana yang dilepas dan yang melepas saling bertangis-tangisan.

Lazimnya dalam acara menjemput calon mempelai pria ini, pihak keluarga calon mempelai wanita juga membawa dua orang wanita muda yang baru berumah tangga untuk dijadikan pasumandan yang mengiringkan dan mengapit calon mempelai pria mulai turun rumahnya sampai disandingkan di pelaminan setelah akad nikah.

Pasumandan ini juga didandani dengan baju kurung khusus dan kepalanya dihiasi dengan sunting rendah.

Pemberian Gelar

Sesuatu yang khas Minangkabau ialah bahwa setiap laki-laki yang telah dianggapdewasa harus mempunyai gelar. Ini sesuai dengan pantun adat yang berbunyi sbb :

Pancaringek tumbuah di paga
Diambiak urang ka ambalau
Ketek banamo gadang bagala
Baitu adaik di Minangkabau

Ukuran dewasa seorang laki-laki ditentukan apabila ia telah berumah tangga. Oleh karena itulah untuk setiap pemuda Minang, pada hari perkawinannya ia harus diberi gelar pusaka kaumnya. Menurut kebiasaan dikampung-kampung dulu, bagi seorang laki-laki yang telah beristeri rasanya kurang dihargai, kalau ia oleh fihak keluarga isterinya dipanggil dengan menyebut nama kecilnya saja.

Penyebutan gelar seorang menantu, walaupun dengan kata-kata Tan saja untuk Sutan atau Kuto saja untuk Sutan Mangkuto, telah mengungkapkan adanya sikap untuk menghormati sang menantu atau rang sumandonya. Ketentuan ini sudah tentu tidaklah berlaku bagi orang-orang tua pihak keluarga isteri yang sebelumnya juga sudah sangat akrab dan intim dengan menantu atau semendanya itu dan telah terbiasa memanggil nama.

Setiap kelompok orang seperut yang disebut satu suku didalam sistim kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada kemenakannya yang laki-laki. Gelar inilah yang diberikan sambut bersambut kepada pemuda-pemuda sepersukuan yang akan berumah tangga. Karena itu pemberian gelar untuk seorang pemuda yang akan kawin, harus dimintakan kepada mamaknya atau saudara laki-laki dari pihak ibu.

Selain dari mengambil gelar dari perbendaharaan suku yang ada dan telah dipakai oleh kaumnya sejak dahulu, maka gelar untuk seorang calon mempelai pria dengan persetujuan mamak-mamaknya juga dapat diambilkan dari persukuan ayahnya atau dari dalam istilah Minang disebut pusako bako. Dan yang tidak mungkin atau sangat bertentangan dengan ketentuan adat ialah mengambil gelar dari pihak persukuan calon isteri, karena dengan demikian calon mempelai pria akan dinilai sebagai perkawinan orang sesuku.

Ketentuan untuk memberikan gelar adat kepada pemuda-pemuda yang baru kawin ini, tidak hanya harus berlaku dari rang sumando atau menantu-menantu yang memang berasal dari suku Minangkabau saja, tetapi juga dapat diberikan kepada orang semenda atau menantu yang berasal dari suku lain. Kepada menantu orang Jawa, orang Sunda bahkan kepada menantu orang asing sekalipun. Karena gelar seorang menantu sebenarnya lebih berguna untuk sebutan penghormatan dari pihak keluarga mempelai wanita kepada orang semenda dan menantunya itu.

Gelar yang diberikan kepada seorang pemuda yang akan kawin, tidak sama nilainya dengan gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu. Gelar penghulu adalah warisan adat yang hanya bisa diturunkan kepada kemenakannya dalam suatu upacara besar dengan kesepakatan kaum setelah penghuluvyang bersangkutan meninggal dunia. Tetapi gelar untuk seorang laki-laki yang akan kawin dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara adat yang khusus.

Pada umumnya gelar untuk pemuda-pemuda yang baru kawin ini diawali dengan Sutan. Seperti Sutan Malenggang, Sutan Pamenan, Sutan Mangkuto dsb.

Ada ketentuan adat yang tersendiri dalam menempatkan orang semenda dan menantu-menantu dari suku lain ini dalam struktur kekerabatan Minangkabau. Bagaimanapun para orang semenda ini, jika telah beristerikan perempuan Minang, maka mereka itu oleh pihak keluarga mempelai wanita ditegakkan sama tinggi dan didudukkan sama rendah dengan menantu dan orang semendanya yang lain. Karena itu kalau sudah diterima sebagai menantu, masuknya kedalam kekeluargaan juga harus ditetapkan secara kokoh dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang sama. Ini sesuai bunyi pepatah-petitih Minangkabau :

Jikok inggok mancangkam
Jikok tabang basitumpu

Artinya segala sesuatunya itu haruslah dilaksanakan secara sepenuh hati menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Nah, untuk semenda yang datang dari suku lain ini, pemberian gelar juga tidak boleh diambilkan dari perbendaharaan gelar yang ada dalam kaum ninik mamak mempelai wanita, karena jatuhnya nanti juga jadi perkawinan sesuku. Tetapi dapat diambilkan dari perbendaharaan gelar yang ada di keluarga ayah mempelai wanita atau disebut juga dari keluarga bako.

Atau bisa juga menurut prosedur yang agak berbelit yaitu calon menantu dijadikan anak kemenakan dulu oleh ninik mamak suku lain yang bukan suku mempelai wanita, kemudian ninik mamak suku yang lain ini memberikan gelar adat yang ada disukunya kepada calon orang semenda itu.

Pemberian gelar untuk calon menantu inilah, baik ia orang Minang maupun orang dari suku dan bangsa lain, yang wajib disebutkan pada waktu berlangsungnya sambah-manyambah dalam acara manjapuik marapulai. Hal ini ditanyakan oleh juru bicara rombongan calon mempelai pria yang menanti. Kemudian disebutkan pula secara resmi ditengah-tengah orang ramai setelah selesai acara akad nikah secara Islami. Inilah yang disebut dalam pepatah petitih :

Indak basuluah batang pisang
Basuluah bulan jo matoari
Bagalanggang mato rang banyak

Pengumuman gelar mempelai pria secara resmi setelah selesai acara akad nikah ini sebaiknya disampaikan langsung oleh ninik mamak keluarga mempelai pria, atau bisa juga disampaikan oleh pembawa acara. Dalam pengumuman itu disebutkan secara lengkap dari suku dan kampung mana gelar itu diambilkan.

Acara Sesudah Akad Nikah

Acara pokok akad nikah dan ijab kabul berlangsung sesuai dengan peraturan baku Hukum Islam dan Undang-Undang Negara R.I. Semua ini dipimpin langsung oleh penghulu yang biasanya dipegang oleh Kepala Urusan Agama setempat.

Setelah selesai semua acara yang bersifat wajib Islami, maka barulah diadakan lagi beberapa acara sesuai dengan adat istiadat Minang. Diantaranya yaitu :

Acara Mamulangkan Tando
Malewakan Gala Marapulai
Balantuang Kaniang
Mangaruak Nasi Kuniang
Bamain Coki

Mamulangkan Tando

Sesudah akad nikah pengantin pria dan pengantin wanita telah terikat secara sah sebagai suami isteri baik dipandang dari sudut agama maupun dari undang-undang negara. Ikatan itu sudah terpatri dalam surat nikah resmi yang dipegang oleh masing-masing pihak. Karena itu tando yang diberikan sebagai janji ikatan sewaktu bertunangan dahulu oleh kedua belah pihak keluarga tidak mereka perlukan lagi.

Pengembalian barang tando ini dilakukan secara resmi dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak setelah selesai acara akad nikah.

Urutan penyerahan tando itu dimulai oleh pihak keluarga pengantin wanita. Diserahkan kepada ibu pengantin wanita oleh seorang keluarganya yang membawa tando itu dari dalam kamar, kemudian ibu pengantin wanita menyerahkan kepada mamak dalam persukuannya. Dan mamak pengantin wanita yang menyerahkan secara resmi disambut oleh mamak pengantin pria yang kemudian menyerahkan tando itu kepada ibu pengantin pria.

Pengembalian tando milik keluarga pengantin wanita juga dilakukan dengan urutan yang sama oleh pihak keluarga pengantin pria.

Malewakan Gala Marapulai

Pengumuman gelar adat yang disandang oleh mempelai pria ini dilakukan langsung oleh ninik mamak kaumnya. Ia harus menyebutkan secara jelas dari mana gelar itu diambilkan dari persukuan ayahnya (bakonya). Jika pengantin pria bukan dari persukuan Minang, maka pengumuman gelar ini dilakukan oleh ninik mamak persukuan pengantin wanita dengan memberikan alasan dan penjelasan yang sama.

Balantuang Kaniang

Acara ini dan dua acara berikutnya lebih bersifat bungo alek atau kembang-kembang pesta daripada acara adat. Ini sesuai dengan pantun-pantun pepatah petitih Minang yang mengatakan:

Cukuik syaraik pai ka Makah
Jalankan parintah baibadaik
Wajib nikah karano sunnah
Sumarak alek karano adaik

Jadi jelas disini acara-acara adat yang dilakukan sesudah akad nikah lebih bertujuan untuk menbuat sebuah pesta tampak lebih semarak.

Secara harfiah acara ini berarti mengadu kening. Pasangan suami isteri baru itu dengan dipimpin oleh perempuan-perempuan tua yang disebut uci-uci saling menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Mula-mula kedua mereka didudukkan saling berhadapan dan antara wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas.
Kemudian kipas ini diturunkan pelan-pelan, sehingga mata mereka saling bertatapan. Setelah itu kedua uci-uci akan saling mendorongkan kepala pengantin itu sehingga kening mereka saling bersentuhan.

Makna acara ini selain mengungkapkan kemesraan pertama antara mereka dengan saling menyentuhkan bagian mulia pada wajah manusia (ingat ungkapan "malu tercoreng pada kening") maka persentuhan kulit pertama ini juga bermakna bahwa sejak detik itu mereka sudah sah sebagai muhrim. Hal ini berarti pula bahwa persentuhan kulit antar mereka tidak lagi membatalkan wudhu atau air sembahyang masing-masing.

Mangaruak Nasi Kuniang

Dihadapan kedua pengantin itu diletakkan nasi kuning yang menimbuni singgang ayam utuh didalamnya. Kedua pengantin ini dipimpin untuk saling berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi itu. Kemudian bagian-bagian yang didapat masing-masing diperagakan kepada tamu-tamu.

Kata orang tua-tua Minang dulu, bagian apa dari daging ayam itu yang didapat oleh masing-masing pengantin akan memberikan ramalan tentang peranan mereka didalam berumah tangga kelak dikemudian hari. Umpamanya kalau pengantin laki-laki mendapatkan bagian kepala, maknanya ia didalam perkawinannya betul-betul akan menjadi kepala rumah tangga yang baik. Kalau pengantin wanita mendapatkan sayap, maka maknanya didalam rumah tangganya nanti ia akan menjadi ibu yang penyayang dan selalu melindungi anak-anaknya. Tatapi kalau sayap ini diperoleh pengantin pria, maka pengantin wanita layak untuk menjaga suaminya lebih ketat karena ada kemungkinan ia akan terbang kesana kemari.

Ramal meramal semacam ini jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam, yang menegaskan bahwa Yang Maha Tahu tentang masa depan siapapun hanyalah Allah semata-mata, bukan manusia, walaupun setua atau sepintar apapun manusia yang meramal itu.

Perlambang lebih baik yang dapat dipetik dari acara ini, terletak pada adegan ketika sang suami mengambil sedikit nasi kuning dengan lauknya, kemudian menyerahkan kepada isterinya. Sang isteri menerima pemberian suaminya itu, tapi tidak memakan semuanya. Ia hanya memasukkan sedikit kemulutnya, dan menyisihkan yang lain dipiringnya. Sikap ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa isteri yang baik ialah isteri yang bisa menahan hati untuk tidak selalu menghabiskan nafkah berapapun yang diberikan suaminya, tetapi selalu
menyimpannya sedikit. Simpanan ini akan dikeluarkannya secara surprise kelak untuk membantu keluarga ketika terjadi musim paceklil atau kekurangan rezeki.
Demikianlah simbolis acara ini sebaiknya ditafsirkan.

Bamain Coki

Coki adalah tradisional di Ranah Minang. Inimadalah semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua orang. papan permainannya hampir menyerupai papan halma dengan garis-garis menyilang. Anak caturnya terdiri dari buah baju berbeda warna.

Kedua pengantin dengan dipimpin oleh uci-uci mengadu kelihaian menjalankan dan saling memakan buag masing-masing. Konon kabarnya dahulu kala permainan ini bisa berlangsung lama dan sangat menarik untuk disaksikan.
Tetapi adakalanya permainan ini juga bisa berubah jadi semacam pergelutan antar mereka yang saling berebut cincin di jari masing-masing. Adakalanya juga pengantin wanita berhasil merebut cincin suaminya dan membawa lari masuk ke dalam kamarnya. Dalam situasi begini, uci-uci lalu menghasut pengantin pria memburu isterinya kedalam kamar untuk merebut cincinnya kembali.

Terang bahwa permainan ini sama sekalilah bermaksud agar pasangan suami isteri baru itu saling menunjukkan kemahirannya dalam bermain coki, tapi lebih bermakna untuk saling meluluhkan kekakuan diantara mereka dan mendorong terciptanya kemesraan pertama antar pengantin baru yang dapat disaksikan oleh orang lain.

Inilah beberapa tata cara bungo alek menurut kebiasaan yang berlaku pada beberapa kenagarian di Minangkabau, dan yang sekarang juga sudah lazim ditampilkan sesudah akad nikah dalam pesta-pesta perkawinan orang Minang di Jakarta.


Manjalang / Mahanta Nasi

Seusai acara akah nikah yang dilanjutkan dengan basandiang di rumah kediaman mempelai wanita, maka sebuah acara lagi yang dikategorikan sebagai perhelatan besar dalam tata cara adat istiadat perkawinan di Minangkabau, ialah acara manjalang. Acara ini mungkin bisa disamakan dengan acara ngunduh mantu yang berlaku menurut adat Jawa.

Acara ini yang pelaksanaan dan undangannya dilakukan oleh pihak keluarga mempelai pria, pada beberapa nagari di Sum Bar mendapat penamaan yang berbeda-beda. Ada yang menyebut dengan istilah manjalang mintuo, mahanta nasi, manyaok kandang atau mahanta nasi katunduakan, mahanta bubue dsb.

Namun maksud dan tujuannya sama, yaitu kewajiban untuk mengisi adat setelah akad nikah dari pihak keluarga mempelai wanita kepada keluarga mempelai pria. Mengisi adat ini bermakna bahwa pihak keluarga mempelai wanita pada hari yang ditentukan harus datang secara resmi kerumah ayah ibu mempelai pria saling kenal mengenal dengan seluruh keluarga mertua anaknya. Karena datang ini secara beradat dan kunjungan mereka itu bukan saja akan disaksikan oleh keluarga, tetapi juag oleh tamu-tamu lain yang diundang oleh keluarga pihak mempelai pria, maka tak heran kalau dibeberapa nagari di Sum Bar sampai sekarang acara ini sering dilaksanakan dengan sangat meriah dan penuh semarak.

Sesuai dengan salah satu judulnya mahanta nasi maka rombongan keluarga mempelai wanita yang datang kerumah ayah ibu mempelai pria ini memang diharuskan untuk membawa berbagai macam makanan. Seperti nasi kuning singgang ayam, lauk pauk rendang, sampadeh dll. Serta kue-kue besar macam macam bolu dan kue-kue adat seperti bulek-bulek, pinyaram, kue poci, kue abuak, onde-onde dll.

Semua bawaan ini ditata diatas dulang-dulang tinggi yang bertutup kain dalamak dan dibawa dengan dijunjung diatas kepala dalam barisan oleh wanita-wanita yang berpakaian adat. Proses inilah yang disebut dengan istilah manjujuang jamba.

Di daerah dalam lingkung adat kubuang tigo baleh (Solok), bawaan nasi dan lauk pauk dalam acara ini yang disebut mahanta nasi katunduakan, ditata dalam cambuang-cambuang kaca putih yang dijunjung oleh wanita-wanita berpakaian adat setempat dengan barisan berderet satu-satu bagaikan itik pulang petang.

Di daerah pesisir seperti Padang dan Pariaman, maka segala bawaan ini baik yang dijunjung diatas dulang maupun yang dipapah dengan baki, tidak boleh ditutup agar orang-orang kampung lain bisa melihatnya sepanjang jalan yang dilalui. Di daerah ini jumlah makanan yang dibawa berbeda pula untuk orang-orang biasa bila dibandingkan dengan keturunan puti-puti. Untuk orang-orang biasa segala bawaan itu cukup setiap macam sebuah atau serba satu atau paling banyak serba dua, maka bagi keturunan puti-puti harus serba empat. Singgang ayamnya empat, kue bolunya empat dll.

Arak-arakan manjalang atau mahanta nasi dari rumah mempelai wanita ke rumah orang tua mempelai pria ini selain diikuti oleh wanita-wanita yang berpakaian adat atau berbaju kurung, juga diikuti oleh para ninik mamak yang juga mengenakan lengkap busana-busana adat sesuai dengan fungsinya didalam kaum.
Barisan ini juga dimeriahkan dengan iringan pemain musik tradisional setempat seperti talempong pacik, gendang, dan puput sarunai yang berbunyi terus menerus sepanjang jalan sampai ke tempat tujuan. Di beberapa kampung sekarang, yang mungkin bertujuan untuk lebih praktis, iringan musik ini ada yang dilakukan dengan mengikutsertakan seorang laki-laki dalam barisan dengan menyandang tape recorder yang agak besar dan sepanjang jalan membunyikan kaset lagu-lagu Minang dengan volume besar.

Dirumah mempelai pria rombongan ini disambut pula secara adat. Selain dengan sirih dalam carano adakalanya juga dinanti dengan tari gelombang dan pasambahan.
Pengantin wanita dipersandingkan lagi dengan pengantin pria di pelaminan yang sengaja dipasang oleh keluarga pengantin pria.

Adalah kewajiban adat bagi ayah ibu pengantin pria setelah acara selesai, sebelum tamu-tamu pulang, untuk mengisi beberapa wadah bekas pembawaan makanan keluarga pengantin wanita yang telah kosong.

Isinya bisa berupa bahan-bahan kain untuk baju, atau seperangkat pakaian, perhiasan emas atau sejumlah uang atau bisa juga hanya diisi dengan gula, mentega dan tepung terigu. Semua itu tentu sesuai dengan kemampuan dan kerelaan sang mertua.

Untuk pesta-pesta perkawinan yang diadakan digedung-gedung, acara manjalang ini juga sering dilaksanakan secara simbolik, dimana barisan pengantin waktu memasuki gedung diawali dengan barisan dara-dara limpapeh rumah dan gadang yang menjunjung jamba.

Sedangkan orang tua dan saudara-saudara kandung pengantin pria sebagai orang yang punya hajat tidak ikut dalam barisan, tetapi menunggu iring-iringan pengantin dan orang tua pengantin wanita di depan pelaminan.

Sambah Manyambah

Sambah-manyambah adalah satu tata cara menurut adat istiadat Minangkabau, yang mengatur tata tertib dan sopan santun pembicaraan orang dalam sebuah pertemuan.
Kata-kata sambah yang dalam bahasa Indonesia berarti sembah, diambil dari semacam sikap awal yang dilakukan oleh setiap orang yang akan melaksanakan pasambahan. Sebelum memulai pembicaraannya ia harus terlebih dahulu mengangkat dan mempertemukan kedua telapak tangannya lurus diantara kening dan hidung bagaikan orang menyembah. Begitu pula sebaliknya sikap yang dilakukan lawan bicara ketika menerima sembah.

Sikap ini saja sudah menjelaskan intu hakikat dari acara tersebut, yaitu bagaimana masing-masing pihak yang bertemu dalam satu pertemuan bisa saling menghormati saling memperlihatkan adat sopan santun dan budi bahasa yang baik, termasuk dalam mengatur kata-kata yang akan diucapkan. Dan dalam sambah-manyambah ini bahasa Minang yang dipergunakan memang agak berbeda dengan bahasa yang diucapkan orang sehari-hari. Bahasa yang dipakai diambil dari bahasa kesusasteraan Minang lama yang liris prosais, penuh pepatah petitih dan dalam kalimat-kalimatnya banyak menjajarkan berbagai ungkapan dan sinonim untuk mempertegas maksud yang disampaikan.

Didalam aturan adat Minangkabau, tata cara sambah manyambah ini justru diletakkan sebagai lembaga pertama tentang adab sopan santun basa basi yang harus dilakukan oleh setiap orang yang bertemu dalam satu musyawarah.
Sebagaimana gurindam adat menyebut :

Tasasak putiang ka hulu
Dibawah kiliaran taji
Aso mulo rundiang dahulu
Tigo limbago nan tajali

Partamo sambah manyambah, kaduo baso jo basi, katigo siriah jo pinang. Sambah manyambah dalam adaik, tali batali undang-undang, tasabuik bamuluik manih, muluik manih talempong kato, baso baiak gulo dibibia, pandai batimbang baso-basi, pandai bamain ereng gendeng, di dalam adaik nan bapakai, banamo adaik sopan santun.

Tiga Tingkat Pasambahan

Untuk zaman sekarang dengan mobilitas dan dinamika kehidupan yang begitu tinggi, terutama bagi orang-orang yang sudah biasa dikejar-kejar waktu dikota-kota besar, mendengarkan orang melakukan sambah-manyambah dalam bentuknya yang masih asli seperti yang terdapat dikampung-kampung di Sumatera Barat, sering
mengundang kebosanan karena panjang dan lamanya.

Namun menurut tata cara sambah-manyambah tidak ada peraturan yang menetapkan bahwa orang yang akan melakukan pasambahan harus bisa melafaskan tambo, yaitu sejarah nenek moyang dan pepatah petitih Minang didalam pembicaraannya. Karena tujuannya yang utama adalah untuk melihatkan basa-basi sopan-santun. Jika sikap itu sudah tidak tercermin dalam tiga-empat kalimat prosais yang disampaikan secara tepat, maka itupun sudah sah disebut sebagai pasambahan.

Didalam tata cara sambah-manyambah disebutkan ada tiga macam tingkat pasambahan dengan tiga macam gaya yang dapat dilakukan dalam tiga acara yang berbeda pula.

Pertama, pidato adat, kedua pasambahan penghulu dan ketiga pasambahan pangka
batang.

Pidato adat. Ini adalah tingkat yang paling tertinggi yang umumnya cuma dikuasai oleh para ahlinya dikalangan Penghulu Pucuk. Pembicara bukan saja sangat mengetahui tentang Undang-undang dan Hukum Adat Minangkabau tetapi juga sangat hafal mengenai tambo dan sejarah serta sangat fasih menyebut pepatah petitih lama. Penyampaian kalimat-kalimatnya pun selain mengikuti gaya liris prosais Minang dengan empat-empat suku kata tiap kalimat, sering juga mampu membawakannya dalam gaya setengah senandung.

Pidato adat ini biasanya ditampilkan dalam musyawarah-musyawarah besar para penghulu yang diadakan dibalairung adat. Yang menguasai gaya dan kemahiran ini nampaknya sekarang ini tidak banyak lagi bisa ditemukan di Sumatera Barat.

Pasambahan Penghulu. Walaupun kemampuan melakukan pasambahan penghulu ini dahulunya merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang penghulu adat, tapi kenyataan sekarang tidak semua orang Minang yang menyandang gelar Datuk bisa melakukannya. Beberapa acara sesuai dengan siklus kehidupan manusia sejak dari kelahiran sampai kematian, terutama yang menyangkut kehidupan seorang penghulu, di Minangkabau upacaranya juga harus dilakukan oleh para penghulu. Akan sangat janggal rasanya jika di dalam upacara semacam itu ada penghulu yang tidak mampu melakukan pembicaraan dalam gaya pasambahan. Sehingga lahir idiom lama yang mengatakan Indak panghulu manulak sambah.

Apalagi dalam upacara pengangkatan seorang atau sejumlah penghulu baru yang sering dilakukan secara istimewa di kampung-kampung, maka kemahiran seorang Datuk dalam sambah-manyambah akan sangat teruji di gelanggang tsb. Malah sering kali gelanggang semacam itu menjadi ajang bagi para penghulu untuk saling memperagakan kemahiran masing-masing.

Untuk acara adat batagak penghulu inilah, tata cara sambah-manyambah memang diharuskan untuk mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai dengan peraturan yang berlaku menurut luhak adat masing-masing. Dan sering bagi orang awam nampak panjang bertele-tele, karena tidak mengerti peraturannya.

Setiap pembicaraan harus disampaikan kepada sejumlah orang yang menerima pembicaraan harus selalu mengulangi pembicaraan orang itu, setiap menyampaikannya kepada orang lain lagi. Dan pemulangan jawabannya pun harus melalui siklus yang sama sehingga sampai kembali kepada pembicara pertama.
Inilah yang didalam pepatah-petitih disebut :

Lamak kato dipakatokan,
Lamak samba dikunyah-kunyah,
Bakato indak sadang sapatah,
Bajalan indak sadang salangkah

Pasambahan Pangka Batang. Ini adalah gaya bahasa pasambahan yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Dan bisa ditampilkan dalam acara-acara lain yang bukan acara batagak penghulu misalnya seperti dalam acara perkawinan. Menurut kebiasaan yang berlaku sejak dulu di Minangkabau, kewajiban untuk melakukan sambah-manyambah alam acara perkawinan tidaklah terpikul kepada Datuk-datuk tetapi merupakan kewajibana para menantu atau orang-orang semenda baru yang ada di atas rumah. Mereka inilah yang lazim diberi tugas untuk menjemput calon mempelai pria, dan akrena itu pulalah mereka harus menguasai tata tertib berbicara menurut alur persembahan walaupun secara sederhana. Tata cara yang sederhana inilah yang didalam kategori sambah manyambah disebut pangka batang. Artinya menguasai bagian-bagian yang pokok saja.

Pengertian pokok disini, adalah dalam cara menyampaikan maksud dan tujuan. Pembicara tidaklah perlu harus mengungkapkan tambo sejarah nagari, hukum adat dll yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan maksud dan tujuan pembicaraan. Tetapi kalimat-kalimat yang menyiratkan keramahan, tata tertib, basa basi dan sopan santun, tetap harus dipertahankan sesuai dengan esensi adat sambah manyambah itu sendiri.